Nostalgia ‘Papringan’
Dari postingan Candi Ngempon, terpana dengan komentar sahabat yang sudah puluhan tahun tinggal di Melbourne :
L: “Indahnya jalan berkelok dengan ‘papringan’ dipinggirnya”
S: “Lah mbakyu masih ingat ‘papringan’ segala termasuk ‘glugut’-nya kah yang bikin ruam gatal?’
L: “Ha… dulu kalau tangan kena glugut-nya rebung, untuk menghilangkannya hanya digosok saja tangannya ke rambut”
Papringan kalebu tembung andhahan, saka tembung lingga pring kang antuk ater-ater pa lan panambang an. Papringan ateges papan uriping pring. [Papringan termasuk kata jadian, dari kata asal ‘pring’ mendapat awalan pa dan akhiran an. Papringan bermakna tempat tumbuhnya pring (bambu)] Wedeh serasa pelajaran tata bahasa atau paramasastra. Tumbuhan bambu berkembang biak melalui anakan, sehingga membentuk rumpun bambu (dhapuran pring) aneka ukuran jumlah maupun umur.
Papringan dalam kenangan masa kecil
Rumpun bambu bergerombol dengan tinggi menjulang akan mengurangi luas bidang pandang, belum lagi kerimbunan daunnya menyerap sinar matahari, sehingga menghadirkan rasa teduh (edum) saat berjalan dibawahnya. Dalam benak kanak-kanak, bayangan permainan serapan sinar matahari pada rumpun menjulang menghadirkan aneka fantasi yang kadang terasa absurd rada menyeramkan.
Rumpun bambu juga sangat pandai menyimpan air sehingga daerah sekitarnya terasa sedikit lebih lembab. Jalan tanah saat itu menjadi sering berlumut menjadikan jalan di bawah papringan lebih licin.
Belum lagi kerapatan buluh batang bambu menyebabkan celah aneka ukuran. Saat udara bergerak atau angin menghasilkan getaran dengan aneka nada. Kadang terdengar nada riang, tak jarang serasa nada pilu menjerit.
Lengkap sudah, perpaduan suasana gelap, nada krieeet..kriiiiet, rasa takut memacu gerak kaki di jalanan agak licin, sehingga sering bruuk jatuhlah kami si kecil. Menyiasatinya kami biasanya jalan berendeng untuk meredam rasa takut. Muncullah sebutan papringan di pengkolan dusun A wingit/angker sering terjadi kanak-kanak jatuh tanpa sebab dll.
Papringan Penjaga Perengan Tebing
Blusukan ke aneka perengan tebing, punthuk maupun gunung menjadikan papringan sahabat perjalanan. Keteduhannya menjadi sahabat, nada buluh perindunya jadi teman pemecah kesunyian, dan mari tengok betapa rumpun bambu ini mampu menjaga tebing dari longsor.
Secara ekonomi setiap dhapur bambu menjadi celengan masyarakat di pedesaan. Bayi bambu jenis tertentu akrab disapa rebung menjadi sayuran yang lezat, laku dijual untuk keperluan dapur. Rontokan daun bambu dikemas sebagai media tanam suplir. Batang bambu aneka ukuran dan umur juga menjadi sumber pendapatan, betapa banyak fungsi tumbuhan bambu, dari tusuk sate, sumpit hingga aneka keranjang bahkan rangka bangunan. Jadi teringat filsafat tumbuhan bambu dari negeri tirai bambu yang kaya pembelajaran.
Tampilan Papringan Ala Kini
Cukup banyak perumahan yang mengusung konsep papringan untuk kompleks huniannya, tentunya dengan pemilihan jenis bambu maupun tanam jajarnya sehingga menjadi pagar kompleks, pematah angin maupun penyumbang keteduhan.
Menyadari tidak memiliki papringan asli, Negara tetangga menanamnya sebagai koleksi bambu di Kebun Raya Singapura. Aneka dhapuran pring ditata dengan elok, diselanya dibuat jogging track, di bagian yang lapang digunakan sebagai tempat olah raga bersama. Terlihat beberapa orang sedang senam ringan diketeduhan papringan. Ooh tampilan papringan jadi memikat terlepas dari bayang-bayang menyeramkan benak kanak-kanak kami.
Berkenan berbagi pengalaman papringan? Terima kasih
Ping-balik: Elar Manyura – Ron Pring | Wijikinanthi
Bams Triwoko said:
Ingat kala sowan ke rumah simbah di desa yg pohon bambunya rimbun.
– Kalau di Klaten, Papringan nama resto bu… 😀 –
___
Khas pemukiman tempo doeloe ya Pak
Papringan resto yang tak hanya menyediakan menu beraura pring
Imelda said:
rumahku di jakarta dulu mempunyai rumpun bambu di halaman depan, sehingga membuat rumah terlihat gelap. Karena itu sering dikatakan banyak “penghuni”nya. Untung saya belum pernah bertemu yang menghuni :v
____
Padahal penghuninya cantik, baik hati dan ramah ya Mbak, maksudnya penghuni yang sesungguhnya
Mechta said:
Papringan di masa kecil saya..adalah di depan rumah, papringan halaman NU..hehe… Tentang bambu.. yg juga terekam diingatan adalah cerita tentang Kancil & Suling Nabi Suleman.. 🙂
____
Kancil & Suling Nabi Suleman….sama Jeng itu yang sering Bapak Ibu dongengkan bagi kami
harumhutan said:
tentang pring/bambu adalah teman setia saat pergi kesurau untuk mengaji saat masih kanak kanak, “obor” dengan kain sebagai sumbu yang kalo mematikannya dg ditiup..buuh..maka muka kadang suka cemong 😀
tentang pring adalah potongan bambu betung[bambu yang besar] yang minta ama tetangga untuk dibuat bom2an selepas taraweh, jadi bambu dibolongin dikit dikasih misiu minyak tanah lalu disumbal, trus doooor kaget dah,sering dimarah sama bapak saya dan kakak kalo maen ini ,apa namanya itu bu?lupa saya:D *meriam bambu ya
tentang pring untuk main tembak tembakan yang pelurunya berasal dari buah pohon hutan yang kecil kecil duwet kalo saya bilang,diisi penuh lalu disodok dengan potongan bambu yang sudah ditipiskan..
tentang pring crita hantu yang stiap pring berderit membuat saya kecil dan kawan2 lari kocar kacir….
duh jadi kangen masa dulu,,saya lama tinggal dihutan bu jadi pring adalah bagian dari kehidupan..
#panjaaaaaaaan komennya terpanjang,haha mengupas nostalgia membuka kisah lama..trimakasi ibu sudah mengingatkan kembali masa kecil saya 🙂
____
Aha peri hutan menyoal rumpun bambu pastinya seru.
Obor dengan si cemong….
Nah yang meriam bambu kami menyebutnya long bumbung, bluuung…blung….tembakan antar kampung di tebing sungai
Kang Pakies said:
Sampai kini, Ibu saya masih tetap menjaga keberadaan rumpun bambu di belakang rumah di lereng timur semeru. Rumpun ini mungkin umurnya sudah sangat tua meskipun yang tumbuh diatasnya silih berganti, termasuk penghuninya.
Rumpun ini telah memberikan banyak limpahan rejeki mulai dari ujung akar sampai ujung daun. Semua memberikan banyak kemanfaatan. Ia menjadi penjaga halaman belakang rumah dari gerusan air sungai, batangnya dari yang muda untuk sayur rebung, yang tua untuk segala jenis kebutuhan keluarga. Termasuk “slompring” yang berwarna coklat ketika tanggal bisa dimanfaatkan untuk kayu bakar di “pawon” . Pokoknya, jika mengurai kemanfaatan papringan, terlalu luas untuk diceritakan dengan segala hal yang menyertainya.
____
Bambu dan penjaga kelestarian alam lereng Timur Semeru nggih Pak.
Terima kasih sekali respon dan tambahan yang sangat berharga ini.
Ini dia ‘slompring’ kami menyebutnya juga begitu Pak, sempat hilang memori apa ya pembungkus bagian ruas (ros-rosan), yak ‘slompring’
Salam
Lidya said:
sama seperti mbak evi, terkesan angker ya pohon bambu 🙂 bunda prih apa kabar? maaf ya saya baru bisa ngeblog lagi jadi baru bisa bw
___
Padahal pikiran kita sendiri ya yang mencetaknya..
Terima kasih Jeng Lidya, kami sehat. Berharap yang terbaik bagi kelg di Bekasi. Mangga Jeng ada kegiatan lain yang perlu diutamakan. Salam hangat
edratna said:
Saat masih kecil, kalau diajak ke rumah eyang, atau bude, selalu melewati jalan yang di kiri kanannya ada pohon pring (jadi istilahnya papringan=tempat pepohonan pring)….sejuk di saat siang, apalagi saat ada angin sepoi-sepoi…dan suara pohon yang terkena angin…bikin ngantuk. Tapi kalau malam hari, dan saat itu listrik belum menjangkau semua desa, terpaksa jalan pakai membawa lampu ting…sereem dengar suara angin yang menembus papringan….bulu kuduk bisa berdiri.
___
Tipikal suasana tempo doeloe ya Ibu. Jarak antar rumah lumayan renggang apalagi antar dusun kadang melewati ‘bulakan’ lahan tanpa rumah tinggal.
Lampu ‘ting’, nyalanya lebih stabil dengan pelindung api katimbang cahaya obor
akhmad muhaimin azzet said:
Kala tinggal di Jogja, saya baru mengetahui bahwa ini bernama papringan. Di Jombang, ini namanya barongan. Kala kecil, saya sering duduk2 di bawahnya sambil menghafal doa-doa shalat yang diajarkan ibu saya.
____
Diperkaya dengan istilah barongan…
Tambahan lagi sudut pandang positif rumpun bambu dari Pak A.M.A., keteduhannya mendukung kekhusukan menghafal doa-doa shalat yang diajarkan ibunda. Salam