Tag

, , , ,

Ngrowot’ Kearifan Budaya Lokal

Ngrowot’, Kearifan Budaya Lokal
     Ngrowot adalah tindakan mengkonsumsi krowotan, yaitu pala kependhem misalnya ketela dan ubi jalar. Ada juga yang mengartikan ngrowot dengan hanya mengkonsumsi ubi-ubian dan buah-buahan, namun beberapa orang menyebut perilaku mengkonsumsi buah-buahan dengan istilah ‘ngalong’ (mengingatkan kita pada perilaku kalong yang makan buah-buahan). Pendapat lain menyatakan ngrowot berarti hanya makan ketela, ubi jalar, talas, uwi, ganyong, maupun garut. Dalam artian luas ngrowot bermakna menumpukan sumber tenaga dari sumber karbohidrat lokal selain beras yang istilah kerennya diversifikasi pangan. Hal ini menunjukkan kearifan budaya lokal, leluhur kita telah menerapkan diversifikasi pangan bahkan sebelum istilah ini marak didengungkan.
     Selain makna harafiah dari pola konsumsi ngrowot, didalamnya tergantung makna filosofis yang bersifat fundamental. Makna kebersahajaan, mengoptimalkan potensi lokal yang ada, sebagai ungkapan keprihatinan, ‘lantaran’/laku untuk menata hati menggapai cita-cita yang lebih hakiki maupun pernyataan manusia sebagai bagian dari keutuhan alam ciptaan Tuhan.

Ngrowot dan Kedaulatan Pangan
     Kedaulatan pangan adalah hak rakyat untuk menentukan dan mengatur sendiri tentang pangan dan pertaniannya. Hal ini bermanfaat untuk melindungi dan mengatur produk domestik, mencakup juga pengaturan masalah perdagangannya. Kedaulatan pangan juga menentukan sejauh mana kewenangan rakyat untuk memenuhi sendiri/swasembada kebutuhan pangannya. Hal ini tidak berarti kedaulatan pangan menentang ataupun anti impor, namun lebih pada bagaimana masyarakat menghargai serta memprioritaskan produksi pangan sendiri yang berkelanjutan, yang aman terhadap kesehatan serta ramah lingkungan. Kedaulatan pangan juga mengandung aspek keadilan yang berarti harga pangan tidak merugikan petani namun disisi lain masih terjangkau oleh pembeli. Penetapan status kecukupan pangan berdasarkan suatu jenis tertentu menunjukkan adanya gejala pemasungan kedaulatan/penyerahan kebebasan/kemerdekaan menentukan pola makan termasuk penetapan jenis yang dimakan. Dan pada gilirannya akan membahayakan status kecukupan pangan masyarakat. Dari aspek ini bisa dikatakan budaya ngrowot menjadi salah satu cara mencapai kedaulatan pangan.
     Mengambil esensi ngrowot sebagai cara diversifikasi pangan, sumbangan energi setara dengan 100 g nasi dapat digantikan dengan 100 g singkong atau 50 g bihun atau 50 g jagung atau 200 g kentang atau 50 g sagu ataupun 150 g ubi. Ubi-ubian kaya serat akan membantu proses pencernaan, beberapa ubi berwarna misalnya ubi kuning mengandung beta karoten maupun ubi ungu disinyalir mempunyai kemampuan zat antioksidan. Memang perlu diwaspadai kandungan asam sianida pada ubi kayu, namun dengan pencucian, perendaman maupun pemilihan jenis, kelemahan ini dapat diatasi. Selain itu beberapa ubi berpotensi menghasilkan banyak gas selama proses pencernaan sehingga berpotensi menyebabkan kembung, perut terasa sebah dll.

Ngrowot Ala Kini
     Untuk melestarikan budaya ngrowot tentunya perlu dilakukan modifikasi bentuk sehingga lebih dekat dengan kekinian. Perlu dipikirkan bentuk ngrowot yang lebih praktis misalnya dengan cara ubi terlebih dulu dibentuk tepung. Tepung ubi ini mempunyai banyak kelebihan dibanding bentuk aslinya karena tepung dapat diperkaya dengan vitamin maupun mineral, mudah disimpan, fleksibel dalam pengolahan, penyajian dapat disesuaikan dengan selera masyarakat kini. Dari aspek kuliner dapat ditingkatkan variasi cara memasak untuk menghasilkan aneka ragam makanan sesuai dengan selera modern.
     Hal ini melahirkan tantangan bagi industri pengolahan maupun jasa kuliner. Pada gilirannya akan meningkatkan nilai tambah dari produk aslinya, membuka lapangan pekerjaan baru, menambah pendapatan pelaku bisnis. Bisa dibayangkan perbedaan ‘gengsi’ sarapan cornflakes vs grontol meski sama-sama sarapan jagung. Kudapan kue berbahan dasar tepung ganyong dan garut, maupun gethuk singkong tak kalah menariknya dengan kue lain yang dipajang di bakery. Nikmatnya pancake berbahan dasar ubi terasa ‘maknyuss’ dan itu merupakan wajah lain dari serabi. Saat ini di pasaran banyak beredar bihun jagung. Di Cina bihun dan mie dengan bahan baku ubi dan talas sudah diperdagangkan secara luas, dengan memanfaatkan budaya lokal kebiasaan masyarakat Cina menyantap mie. So….. Ngrowot? Mengapa tidak!! (Bagian dari tulisan lama yang dimuat di Tabloid Adiyuswa edisi Mei 2008)