Tag
GKJW Mojowarno, kothekan lesung, lesung jumengglung, musik lesung, riyaya undhuh unduh, sung pisungsung
Lesung Jumengglung – Sung Pisungsung
Lingsir wengi, jarum jam baru menunjukkan pk 03 am….Setelah yakin bahwa sosok berbaju putih yang sendirian dalam diam mengamati lesung di teras GKJW Mojowarno itu titah sebangsanya, seorang petugas menyapa ramah dan menyilakan kalau mau masuk ruang ibadah. Melalui pintu butulan (samping) terasa ruang besar nan senyap, altar putih berbalut kain pola kawung, aroma rajangan pandan wangi berpadu melati dalam reroncen riyaya undhuh-undhuh (hari raya panen). Lesung berdampingan dengan gamelan siyaga mengiringi ibadah pagi nanti.
Ndungkap raina, menjelang terang tanah pk 04.30 am kali ini bersama para sahabat, kembali mengelus lesung ….hamba sumadya…jendela mulai dibuka bahkan beberapa niyaga (pemain gamelan) untuk ibadah pk 07.30 mulai berdatangan.
Teriring pletheking surya (matahari terbit) para taruna bersiap bermusik lesung, kothekan lesung di hadapan peserta ibadah yang bergelombang hadir sebagai pertanda iring-iringan peserta dari berbagai blok GKJW Mojowarno segera hadir. Taruna berbusana batik modifikasi memainkan harmoni sesekali dipandu oleh ibu sepuh pelatihnya, grup ini menjadi juara 2 pada lomba kothekan.
Pk 06.43 am …. Saatnya generasi menengah para wanodya yu dari blok Mojowangi berbusana khas kain jarik bawah lutut, kebaya sesiku dan bercaping selaku simbol busana kerja dengan sigap gandhes luwes menggantikan para teruna.
Pk 07.10 am….generasi sepuh berkebaya lurik mengambil alih kothekan lesung alias lesung jumengglung, nuansa perbawa, keluguan rasa syukur memancar melalui alunan tek..dung..tek. Entah apanya yang mengingatkan saya pada teater Sahita dari Solo.
Pk 07.30 am ….. saatnya ibadah dimulai, jemaat berdiri menyanyi lagu “Lebar Panene” diiringi musik lesung berkolaborasi dengan gamelan. Sementara prosesi pendeta diiringi perwakilan sung pisungsung dari perwakilan masyarakat, elemen PemDa setempat, memasuki ruangan. Gaung syukur dikumandangkan…
Lebar Panene
Sampun lebar panene, lalala…lalala…
Sampun minggah pantune, lalala…lalala…
Tabrine tiyang tani pinaringan berkah
Samangke sampun mukti lan ayeming manah
lalala…lalala… lalala…lalala…
[Terjemahan bebas]
Usai Panen
Panen tlah usai lalala…lalala…
Padi telah dinaikkan (ke lumbung) lalala…lalala…
Sawah petani diberkati
Kini telah makmur dan hati sejahtera lalala…lalala…
Musik lesung dalam Ibadah Syukur
Bagi masyarakat agraris lesung dan alu sangat dekat dengan kegembiraan panen padi. Lesung berupa kayu wutuh yang dilubangi memanjang menjadi sarana nutu atau merontokkan padi menjadi gabah dengan bantuan alu atau antan. Disamping lesung biasanya terdapat lumpang dengan cekungan lebih sempit dari lesung untuk nyosoh beras (selep). Peralatan yang kini sangat jarang digunakan dan digantikan dengan mesin perontok padi, pemecah gabah maupun selep beras. Saat lesung bermusik merupakan penanda cukupnya hasil panen bagi warga, simbul kemakmuran masyarakat.
Pasangan lesung dan alu juga digunakan sebagai simbol kesatuan pria wanita (lingga dan yoni), saling mengisi bekerja sama mengupayakan kesejahteraan keluarga baik artian sempit maupun luas.
Masa kecil kami, kothekan lesung di malam hari berkaitan dengan gerhana bulan. Mendengar nada kothekan membuat sang buto (raksasa) gusar dan memuntahkan kembali bulan yang ditelannya. Riuhnya kothekan lesung saat lingsir wengi mengguncang tatanan alam, membangunkan sang ayam jantan dari lelap …kukuruyuk….jago kluruk (ayam jantan berkokok) sebelum waktu ndungkap raina dan menggagalkan misi yang menabrak tatanan sosial dalam kisah Sangkuriang maupun Bandung Bandawasa.
Singkatnya, musik lesung sangat dekat dengan kehidupan nyata manusia. Pengetahuan lokal yang terjalin dalam kearifan lokal untuk harmonisasi tatanan alam maupun sosial. Mengusung musik lesung dalam ibadah syukur menjadi media pewartaan pemeliharaan Tuhan pada kehidupan umat-Nya yang direspon melalui ungkapan syukur gya sung pisungsung menghaturkan persembahan melalui kehidupan nyata. Mendaratkan tema “Berbahagialah yang Melanjutkan Kebaikan Tuhan” melalui musik lesung…..
Maria Setyari said:
Sungguh menarik, dan mohon ijin share salah satu fotonya.
____
Terima kasih, silakan
harumhutan said:
eaalaahh..itu sosok baju putihpun ikut menjadi pengamat?hambok diajak sisan bu,jam 3 pagikan saat mreka tampil hehehe *halaah serem aku pasti pingsan klo ketemu
lucu juga ya,beneran numbuk lesung, budaya indonesia itu emang unik dan ragam, ada yang melarung ada yang tumbuk lesung dengan kesamaan, bersyukur atas limpahan alam dalam panen ya…
menarik,solo emang top dah
___
baru nyadar kalo berbaju putih di saat sepi…
Aneka cara ya umat dalam bersyukur limpahan alam dalam panen, saya yakin setiap suku memiliki budaya khasnya
Wooh Jeng, bukan Solo tapi Mojowarno, Jombang..
nyomanselem said:
Hari Raya Unduh-Unduh di Mojowarno sepertinya selalu menarik banyak tamu untuk ikut merayakan di sana ya…
___
Sudah menjadi agenda rutin PemDa setempat sebagai wisata religi….
Imelda said:
waaah aku belum tahu nih mbak… maklum anak kota dan di rantau lagi hehehe
___
Setiap wilayah memiliki kekhasannya ya mbak…
DIJA said:
unik sekali Tante
Dija juga di jombang
tapi belom pernah ke mojowarno
___
Hi Dija, indah sekali kota Jombang, mohon maaf ya tidak kontak karena berombongan 2 bus hehe
Lidya said:
wah siapa tuh bun sesosok berbaju putih
___
yang berkaos putih main kotekan lesung Jeng (eh simbahnya kalee)…
lieshadie said:
Mbak, aku terakhir menikmati lesung jumengglung pas Blogger Nusantara di Jogja taun kemarin itu, itu dan niyaga nya juga kaum spuh2 nan kenes lincah mirip Sahita..
Dan karenanya pula rasa- rasanya enggan untuk beranjak dari tempat duduk.. 🙂
___
tek dung tek, kotekan lesung yang menguarkan nada ayem ya Jeng. Woih BN kemaren penuh warna nih. Salam hangat