Batu Bertutur: Antara Badaling dan Borobudur
Terkenang pitutur berharga dari Eyang Rahmat: “…. formasi X terbentuk pada zaman Pleistosen … perhatikan tekstur pejal batuan andesit ….” Saat itu saya menyarikan batu bertutur peradaban bangsa melalui sisi kemampuannya menyuburkan lahan. Sejarah membuktikan catatan perkembangan kehidupan terpahat pada lempengan, wungkulan maupun bangunan bebatuan aneka ukuran.
Badaling
Saat berkesempatan menikmati keindahan tembok besar Tiongkok (great wall) melalui pintu Badaling, saya terkagum dengan lautan manusia yang merayapinya, mewujudkan mimpi menapaki salah satu keajaiban dunia. Terhenyak saat berjumpa dengan rombongan keluarga yang memapah pyayi sepuh, beberapa anggota keluarganya menggotong kursi roda lipat sehingga pada bagian datar beliau bisa duduk di kursi dorong. Terasa kekhidmatan rombongan tersebut seolah sedang ziarah peradaban.
Bila dinikmati dalam hening, bebatuan tembok besar tersebut bertutur tentang pewujudan kedaulatan bangsa atas rongrongan dari wilayah luar, dokumentasi nyata atas teknologi mengunggah bebatuan dari bawah pada zamannya, bermeter kubik air mata yang ditumpahkan anggota keluarga penggarap tembok. Secara pribadi batu tembok juga bertutur bagaimana bertahan atas deraan panas menyengat dan gigilan beku bergantian, usapan kekaguman berseling cubitan vandalisme. Bebatuanpun menyimpan rapat aneka rahasia pengunjungnya selama menikmati keelokan aneka warna pulasan antar musim.
Menepuk dan mengelus batuan Badaling seolah diingatkan bahwa “batu tetangga tidak lebih kasar pun lebih keras dibanding batu di halaman sendiri” semakin disadarkan untuk lebih menghargai batu bertutur yang berserak di Nusantara.
Mencatat salah satu cara unik yang mungkin bisa diterapkan dengan modifikasi khas budaya setempat. Saat rombongan tiba kami dihampiri fotografer setempat untuk dokumentasi di spot tertentu, cetak foto rombongan berukuran besar akan diisikan pada halaman pertama dari buku indah pariwisata setempat. Tampilan buku dan cara bertutur petugas sungguh enak, menempatkan setiap pengunjung menjadi bagian sejarah sehingga banyak pelancong dengan senang hati merogoh kocek yang tak sangat murah, bagian dari promosi wisata yang sangat efektif. Pun pemesanan semacam sertifikat telah mengunjungi Great Wall yang berupa bilah bambu dengan aksara khas bertuliskan nama pengunjung dapat dilakukan saat datang dan diambil saat pengunjung akan pulang. Membukukan kenangan secara personal, batu Badaling membagi berkah kepada banyak pihak.
Borobudur bertutur
Candi Borobudur merupakan salah satu keajaiban dunia …. Peradaban bangsa kita dicatat sejarah di kancah internasional. Boroudur menjadi salah satu asset monumental bangsa bahkan dunia. Pengetahuan bangsa lain atas Borobudur belum tentu lebih dangkal dari pengenalan kita. Begitu banyak karya cipta dunia yang diinspirasi oleh keagungannya.
Kapan dan bilamana mengunjungi Borobudur? Bebatuan penyusun Borobudurpun bertutur kebanyakan pengunjung mengelusnya, saat darmawisata sekolah…. Saat mengantar anak-anak (atau sebaliknya diantar orang tua)…. Saat mengantar tamu…..
Mendambakan Borobudur juga menjadi impian kunjungan nasional bangsanya. Manula yang semasa mudanya kurang memiliki waktu berkunjung diantar kerabatnya. Semakin meningkat jumlah pengunjung yang memiliki waktu mendengar bebatuan bertutur melalui intensnya amatan.
Selain bertutur tentang sejarah peradaban bangsa, bebatuan Borobudur dengan lirih berbisik ada kalanya betapa hiruk pikuk pengunjung saat suasana hening ibadah dibangun. Blitz berkilatan saat cahaya teduh disaputkan. Kepekaan pada rasa bahasa tubuh rohaniawan yang terganggu khusuknya dalam manengku puja seolah terabaikan.
Bebatuan Borobudur bersama batuan berserakan di aneka situs di Nusantara, semisal Candi Dukuh, situs Umpak Songo, candi Penampihan, situs Payak, situs Megalitik ibarat ceceran simfoni peradaban bangsa pemuja simbol gula kelapa. Sesungguhnya setiap kitapun keping batu bertutur ciptaanNya yang menuturkan keagungan Sang Maha.
Ping-balik: Candi Ngempon di Pinggir Kali Lo | RyNaRi
bintangtimur said:
Mbak, kesamaan batu yang disusun itu menjadikan saya introspeksi. Manusia jaman dulu, ternyata begitu ulet dan tangguh untuk menciptakan karya seni yang hebat…sekarang kita seharusnya menikmati dengan penuh tanggung jawab, memelihara kebersihan dan menghilangkan vandalisme yang seringkali dilakukan untuk sekedar meninggalkan tanda bahwa kita pernah berada disana…
___
Jeng Irma, terima kasih sekali dengan tambahan berharga ini. Sebagai penanda kita hadir mari cukupkan dengan berfoto malah kesempatan aneka gaya khan…tanpa perlu corat-coret cungkal-cungkil…
Jadi ingat pesan…jangan ambil apapun kecuali gambar kenangan, jangan tinggalkan apapun kecuali jejak tapak kita…
Ping-balik: Belajar Budaya Keagungan Gunungapi Merapi | RyNaRi