Payung Teduh Trembesi dan Bukit Pelangi
“Arahkan ke bukit pelangi”, demikian aba-aba Mas Mbarep. Kamipun meluncur meninggalkan areal Taman Budaya Sentul. Suasana lereng perbukitan, perdesaan dengan penataan pemukiman yang khas terasa.
“Bisa berhenti sebentar, Mas” Pinta Simbok saat menangkap pandang penjaja jambu bol di tepian jalan. Jambu yang unik, kami juga menyebutnya jambu dersana. Buahnya tidak berada di ujung ranting namun berada nempel pada batang ataupun dahan utama. Termasuk tanaman langka.
Ibu penjajanya menata dagangan dalam mobil. Dipilahnya menjadi 3 kelas, super besar 40K perkg, 30K untuk ukuran besar dan 20K ukuran lebih kecil. Tidak tega menawar, 2 kg jambu ukuran besar berpindah tangan. Beneran besar isinya 6 artinya berat per buah lebih dari 300g. Berwarna merah menggiurkan.
[Ternyata selera tidak mengikuti hukum genetika, terjadi perbedaan kesukaan antar generasi. Jambu dersana unik dan menggoda bagi Simbok tidak selalu sangat diminati. Tantangan bagi pelaku agribisnis buah untuk selalu merakit produk yang dilirik konsumen]
Perjalanan kian menanjak perbukitan. Bukan hari libur namun kepadatan jalan lumayan penuh. Mulai dari pesepeda, rombongan motor hingga mobil-mobil yang melintas jalur ini. Mengulik peta google, ooh ini jalur alternatif ke wilayah atas, Ciawi Bogor lewat pinggir.
Memasuki kawasan perumahan Rainbow Hill, pemukiman mewah dengan paduan lapangan golf. Ooh pemukim kota merambah ke perbukitan daerah pinggir. Semoga para dulurs penduduk asli tidak terpinggirkan, tergiur melepas tanah ke pengembang. [Eh emangnya bisa mengelak tuntutan zaman ya, kecuali oleh penataan tata kota yang ketat]
Tetiba kami memasuki jalur dua jalan yang suasananya sungguh eksotis. Jalan diapit oleh deretan pohon trembesi dari dua sisi. Seolah membentuk lorong berpayung hijau. Serasa payung teduh trembesi. Yaak pohon trembesi yang kokoh besar dengan daya serap CO2 yang tinggi.
Iring-iringan mobil berpayung trembesi. Disusul barisan motor. Paling senang kalau di depan jalanan lengang….. barisan trembesi tetap menyerap polutan dan memberi keteduhan.
[Hm… rasanya pernah melihat foto lokasi ini di mana ya? Ya iyalah pastinya banyak artikel yang mengulas kawasan ini. Tetiba ingat kayaknya di blog sahabat. Mengulik areal ini melalui aktivitas beliau bersapedahan]
Lah, di mana yah bukit pelanginya? Usai kawasan golf, memasuki suasana kawasan lama. Pada suatu titik eh deretan terdapat jajaran warung makan, penjual oleh-oleh buah. Tempat nyantai mencakung di atas tebing dengan beberapa penanda spot swafoto. Juga aneka area camping mulai kemah beneran hingga kemah ala penginapan.
Titik penanda peta berkedip-kedip. Ini yah kawasan bukit pelangi. Penduduk juga menyebutnya gunung geulis, gunung yang cantik pemandangan alamnya. Kami tidak turun dari kendaraan, menikmati sambil jalan saja.
Berhitung jarak, memutuskan lanjut maju saja dan akan bertemu dengan jalur Bogor-Puncak selepas Ciawi. Rencana akan langsung mutar balik memasuki toll Ciawi. Tidak dinyana daerah yang zaman duluuuuu saat Simbok nyantrik adalah kawasan pinggir, daerah kebun praktikum Pasir Angin dan sekitarnya kini berkembang menjadi daerah padat.
Badalah….. saat mendekati jalur Bogor-Puncak, terlihat kendaraan merayap mengular. Saatnya diberlakukan buka tutup dan pas jalur naik yang dibuka. Ahaa… ya sudah kamipun putar balik, kembali mendaki ke bukit Pelangi dan menuruninya menuju Sentul melalui jalur semula.
Seakan alam memberi kesempatan menikmati bukit pelangi pergi dan pulang. Setangkep kalau bahasa teman-teman pengemudi. Mematrikan panorama dari dua sisi kiri kanan jalan secara seimbang.
Panorama paling berkesan saat melintasi payung teduh trembesi menjadi terulang kembali. Tadinya dalam pendakian kini arah menurun. Hehe gampang juga ya menerima kisah perjalanan naik turun.
Inilah sekilas perjalanan menyusur jalan Bukit Pelangi Sentul. Bonus payung teduh trembesi.
akupun tak suka buah ini Syzygium malaccense atau jambu bol, ga tau kenapa tanpa alasan.. 😦
sukaaa banget sama payung trembesinya, teduh, sejuk..damai…adem, betah inimah kalo disini hehe
asiik ada generasi muda yang juga tak suka jambu bol ini. Suka dan tak suka, tak selalu harus ada alasan kan ya, hehe
Nah payung trembesi bikin mupeng turun hirup udara segar dibawahnya.
Pohon trembesi biasa saya lihat di jalanan perumahan besar. Memang seperti payung ya Bu.
aloo Jeng Dey, apa khabar. Hijau trembesi menjadi puisi buat Jeng Dey.
Salam hangat
saya juga paling suka kalau melewatin jalan di bukit pelangi ini …. teduh adem …. pokoknya menyenangkan
Itu dia….saat lewat, ngebatin pernah membaca deskripsi wilayah ini. Cliing teringatnya dengan bersapedahan. Kebayang medan ngegowesnya penuh tanjakan. Salam
Jambu bol ada sedikit kesan sepatnya ya oma..? buah2an masa kecil emak dulu, gak semuanya manis.. ada salak medan yg sepatnya dominan.. ada banyak macam buah hutan yang juga lebih cendrung asem dan sepatnya, tapi tetap favorit, xixixi.. karena adanya memang hanya itu . Sekarang ada jambu dalhari, salak pondoh, jambu kristal, maniss semua.. 🧡
Iyo Uni Bundo, teksturnya rada ‘kapes-kapes’ kurang renyah. Aha, segala buah lokal dilalap yo. Hai Buyung Saga, sudah bisa mam buah lokal sawo Yogya yang manis? salam sehat buat kelg Kotagede
Si buyung suka sawo dan kesemek, oma.. 😀
Tulisan bu Prih ini bikin saya kangen Palembang, karena pohon trembesi alias ki hujan ini ada banyak di taman Kambang Iwak yang biasanya jadi tempat favorit kami lari pagi 😁
Sementara disilih dulu ya Jeng Lis, trembesi Iwak Kambang. Menikmati berkat kumpul keluarga inti di Jakarta. Salam hangat tuk duo R.
Kalau mbok kebun ya, nulisnya gini. Sekalipun jalan-jalan menuju puncak, fokus utama tetap pohon 😀
Tarimo kasi Uni Evi….. maunya sambil nyamil gula aren loh Uni.
Salam hangat dan sehat buat keluarga Uni Evi.