Antara Jam Berdiri dan Sapi
Belum lama ini saya pergi ke Toko **H, salah satu toko legendaris di Kota Salatiga. Toko dengan dagangan utama jam (arloji/tangan, dinding maupun berdiri) yang secara unik berkolaborasi dengan mesin jahit. Entah apa benang merah pengikat temanya, mungkinkan jam dan mesin jahit sama-sama menggerakkan jarum. Om pemilik toko sangat ramah melayani pelanggannya, tidak membedakan entah pembeli jam beneran yang amat berharga ataupun kepada peminta tolong ganti baterei jam tangan seperti saya saat itu. Tak heran meski mall dan toko besar penjual jam bermunculan namun pelanggan setia beliau tak pernah surut.
Aura kebanggaan menghiasi senyum sapa Om pemilik yang mengusahakan Toko **H sebagai toko jam sejak tahun 60an. Dengan lancar beliau bercerita bahwa pemilik jam tangan sangat berharga saat itu, harganya melebihi gaji sebulan pegawai pamong praja, pemakai jam tangan menunjukkan identitas status sosial ekonomi tertentu.
Lalu beliau berkisah tentang jam berdiri merk Jungh*** berumahkan kayu berpelitur mengkilap dengan tiga bandul super berat penggerak jarum detik, menit, jam….nah jam tersebut saat itu nilai tukarnya setara dengan hampir 3 ekor sapi. Zaman itu blantik (pedagang sapi) didampingi para pegawainya menggiring barisan sapi di pagi buta berpandukan obor minyak tanah dengan iringan ceter…ceter…lecutan cemeti menuju pasar sapi. Kekayaan sang blantik salah satunya ditandai dengan kepemilikan jam berdiri. Kini 2-3 ekor sapi dapat ditukarkan dengan 5 jam berdiri. Weladalah, Si Om sedang mengajarkan terjadi pergeseran nilai tukar jam berdiri dengan sapi yang bergerak cepat dari 1 ke 5 dalam rentang waktu setengah abad. Arlojipun kini juga bervariasi mulai dari harga sangat terjangkau.
Jam awal yang kami kenal dalam keluarga adalah weker sederhana yang secara berkala diputar dicocokkan dengan siaran radio RRI, jam ding dong kami nikmati di rumah Simbah, sedangkan jam tangan pertama Bapak Ibu belikan saat SMA berwarna silver merk Sei** dengan pesan untuk belajar menghargai waktu anugerahNya. Bagaimana dengan arloji dan jam kenangan sahabat…..
Mechta said:
“My Grandfather’s clock..was too long for the wall…. ” hehe… jadi ingat lagu jadul yg suka dinyanyikan bapak-ibu saat melihat jam kuno begini, bu… Aah, toko **H itu saya ingat 🙂
___
Penanda yang pasang postingan semasa dengan grandmother hehe….
Aha toko **H menyisip dalam kenangan warga Salatiga.
Lois said:
Dirumah keluarga didaerah Solo ada jam dinding yang harus diputar sebulan sekali dan bunyi teng, teng, teng setiap o’clock time dan sekali teng setiap setengah jam. Tapi rupanya sudah lama rusak tak jalan lagi. Anehnya waktu kejadian gempa besar di Yogyakarta tahun 2006 yll, tiba tiba waktu semuanya bergoyang, dengan ramainya jam dinding itu bunyi ‘kloneng, kloneng, kloneng……” Setelah gempa reda, jam tetap tidak jalan dan sudah dicoba diputar lagi masih tetap kaput dan tetap tak pernah berbunyi lagi………..
___
Terkesima nih Mbakyu membaca penuturannya. Rasanya selalu ada hal yang tak mampu dijelaskan pada suatu peristiwa besar. Goncangan gempa besar seolah membangunkan jarum jam yang sekian lama ‘tapa’ diam tak bergoyang.
Salam hangat
ysalma said:
cuma punya jam dinding bulat biasa di rumah,
kalau untuk alarm sekarang mengandalkan hape, kalau dulu alarm diri aja*kecapek-an, bablas 😀
____
Idem dito Uni, jam dinding bulat yang kadang dicepetin dikit….
Alarm boleh berdering, dimatikan dan lanjut tidurnya, walhasil kesiangan, saya banget nih …
chris13jkt said:
Jam-jam kuno gitu bentuknya memang gagah ya Bu, tapi bunyinya kalau di tengah malam sepi koq kesannya jadi horor. Itu salah satu sebab kenapa jam tua pemberian almarhum ayah sampai sekarang belum aku gantung di dinding
____
Gaung dentangnya membelah kesenyapan malam ya Pak, mengirim rasa kaget bin horor. Fungsi utama sebagai penujuk waktu dan alarm diwakili oleh hape mungil yang nyaman dibawa kemana-mana. Salam
wi3nd said:
jam meker warisan kakak saya masih simpan,hanya saja batunya habis,ini kalo alarmnya bunyi berisik banget 😀
saya slalu suka dengan jam dinding yang berdiri entah kenapa,terlebih berdentang bunyi,paling ngeri kalo pas jam 00.00 he he…
tidak ada kenangan khusus tentang jam tangan karna saya tak terlalu suka pake jam bu 🙂
____
#Kakak berhasil mewariskan alarm jam weker, lah kalau alarmnya pelan-pelan jadi peninabobo kita..
#Gagah ya Jeng si Jam berdiri alias grandfather/mother clock…Tengah malam berdentang keras 12 kali pulak…mbrebegi ya Jeng
#Beberapa sahabat juga kurang suka jam tangan, apalagi kini bersanding dengan hape..
Reni Judhanto said:
Aku sudah lama gak buat jam berdiri spt itu mbak… tapi kalau jam yang bunyi sebanyak jam-nya itu masih sering denger, soalnya jam di rumah ortuku masih spt itu. Berisik banget kalo jam 12 karena harus mendengar suara “dong… dong…” sampai 12 kali hehehe
Mbak, maaf lahir batin ya…
___
Saling memaafkan ya Jeng Reni…..
Lah pukul 12 siang sambil mengingatkan jam makan siang, kalau pk 12 malam dong..dong…nya ngebangunin nih Jeng
Salam hangat
Akhmad Muhaimin Azzet said:
Membaca artikel ini, saya teringat adik saya yang pekerjaan sehari-harinya adalah servis jam, Mbak.
___
Betapa telaten Adinda ya Pak A.M.A. onderdil jam yang lembut ditata sehingga jadi penunjuk waktu yang sungguh berharga
Chrismana"bee" said:
Jam2 kayak gitu legendaris ya mbak, di rumah sdara2 q yang dari keluarga berada pada masih nyimpen, kalo dirumah aku adanya jam bulet biasa, hehhee
___
Sama Chris, dirumah juga jam bunder biasa, dulu disetel sedikit agak kecepatan biar anak-anak tidak telat padahal ngajarin gak disiplin ya. Salam
nyomanselem said:
Saya belikan jam tangan pertama unt anak sy di **H ini mbak. Sy minta Oom yang baik itu carikan jam dg penunjuk waktu digital plus alarm, skalian disetelin alarm pkl 5 sore (waktu jam maen anak sy habis..) Begitu alarm bunyi anak sy langsung pulang unt segera mandi 😀
___
Aha Widya dikenain jam sore oleh Mama nih ya ….
Pelayanan toko-toko lawas di Salatiga sungguh khas ya Jeng
Dunia Ely said:
Perlu diteladani ya mbak Service Yang diberikan oleh pemilik jam tersebut, tak membedakan pengunjung tokonya.
Pas lihat gambar jam berdiri di atas jadi inget jam hampir serupa milik alm. bapak dulu mbak, cuma atasnya berbentuk kotak, enggak melengkung, sekarang masih berdiri di pojok ruang tamu rumah alm ortu, dulu pas masih sekolah suka mendengar tiap seperempat jam bunyi 😀
___
Pelayanan total dari empunya toko ya Jeng, membuat pelanggan betah
Dulu tungguan jamnya ya Jeng, dan kekokohan almari jamnya sangat mengesankan. Selalu merdu dengar ding dongnya.
Salam
duniaely said:
iya mbak, suka narsis di dekat jam hihihi … nggaya 🙂
___
Seandainya, saya di dekat jam kokoh itu juga melakukan hal yang sama sambil mengelus dan mengagumi gerakan bandulnya hehe…
Apalagi kalau jumpa big ben ya…