Dari Kakao ke Cokelat
Segelas cokelat hangat dari cokelat bubuk Windmolen menjadi kenangan kenikmatan tiada tara saat kami kecil. Minuman yang tidak mungkin keluar dalam menu harian hanya pada momen istimewa saja. Sampai-sampai bungkus kotak berwarna dasar merah dengan gambar nonik Belanda berlatar kincir angin jadi lekat dalam ingatan.

Tumbuhan kakao, sumber dari wikipedia
Pada saat yang lain Bapak mengajak kami ke kebun tetangga menunjukkan pohon dengan buah menghijau dan memerah keunguan saat masak yang menempel pada batangnya, itulah pohon kakao. Pikiran kanak-kanak kami, meminta Bapak minta buah matangnya kepada pemiliknya untuk kami buat minuman nikmat. Belajar dulu supaya tahu perjalanan panjang sang biji kakao dalam buah hingga tersaji penganan cokelat nan enak, demikian pesan Bapak. Pesan yang tetap menjadi PR panjang hingga kini.
Kakao alias Theobroma cacao, nama pohon penghasil biji cokelat. Indonesia menjadi penghasil kakao peringkat tiga (3) dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Apakah sebagai penghasil biji kakao papan atas juga sekaligus penghasil produk olahannya? Pemilahan peran telah tercetak sejak awal, inilah produsen cokelat dunia Jerman, AS, Swiss, Belgia. Saat perjalanan di Luwuk SulTeng, banyak sekali petani kakao menghamparkan pemrosesan biji untuk dilanjutkan pada proses fermentasi, namun urung tak ada gerai cokelat buatan lokal.
Tetangga RT sebelah juga kian giat menyajikan olahan cokelat lokal semisal gerai Beryl’s memadukan pajangan proses dengan toko. Aneka produk dengan kemasan dan rasa unik, mangga, durian maupun chili yang pedas. Potongan kecil tester aneka rasa tiada henti dibagi, membujuk pengunjung memasukkan dos demi dos dari rak pajangan ke keranjang belanjaan menuju kasir.
Geliat rumah cokelat (cokelat loh ya di KBBI bukan coklat) juga makin marak di tanah air. Aneka miniatur bangunan bersejarah bersalut cokelat, mau foto bersama replika jam gadang bersalut cokelat, ada Tugu Pal Putih maupun Stupa Borobudur yang bisa meleleh di mulut, menjadi pilihan oleh-oleh yang khas, menjadi lokomotif penarik gerbong ekonomi yang panjang. Garut dengan chocodot, Surabaya dengan dapur cokelat pun Yogya dengan Cokelat Monggo. Pun di kota-kota lain semisal cokelat lidah buaya di Pontianak
Berikut hasil blusukan di Kotagede Yogyakarta sekitar 2 tahun lalu. Kotagede tak hanya kota sejarah, cikal bakal Mataram dengan aneka situs peninggalan hingga makam Raja-raja agung, namun juga kota kerajinan dengan unggulan kerajinan perak dan kini rumah Cokelat Monggo. Etalase pemrosesan langsung dapat dinikmati dari dinding kaca. Kenikmatan belanja belum menjadi keutamaan karena semua produk tersimpan di dalam, pembeli mencicip dan meminta jenis produk yang diinginkan, belum model swalayan penuh dimana pengunjung bebas memilih dan tidak sungkan utuk berganti pilihan. [entah di gerai etalase yang satunya yang mestinya lebih lengkap dan nyaman] Pemilihan nama maupun gambar labelnya khas Yogya.
Mau tambahan suguhan yook berjalan beberapa meter dan berkunjung ke Situs Kedaton Mataram….
Untuk rasa hmm lumayan enak, lah harga….mau tidak mau melirik ke kompetitor senada, cokelat ratuperak yang banyak beredar di pasaran, sehingga harga cokelat monggo terasa rada mahal. Bukankah di awal berjanji akan mendukung produk olahan lokal, atau ini strategi bidik pangsa pasar tertentu, di lapangan konsumen sebagai pengambil keputusan utamanya. Bila sedang di Yogya, mampir yook…. Mengiringi rinai hujan Pebruari, secangkir wedang cokelat original ataupun cokelat rempah menghangatkan keluarga. Salam
mesti dijadual ke coklat Monggo kalau ke Yogya…..
Saya suka rasanya….
____
Mangga…mangga…Ara pastinya suka nyemil cokelat….
Nyam..nyaam…. ngemil cokelat sinambi menikmati malam liburan 🙂
_____
Apalagi menikmatinya bersama keluarga terkasih, nyam..nyam..
Sekarang memang banyak produk cokelat lokal dengan segala inovasinya ya Bu. Pernah dapat oleh2 coklat monggo ini.
____
Kagum dengan inovasi chocodot Garut melengkapi batik garutan (sambil mengelus batik garutan oranye tanda kasih dari Fauzan)
Saya dulu waktu kecil sering sekali makan buah kakao, bu, apalagi kalo pergi ke rumah oma. Di belakang rumahnya banyak pohon kakao. Bisa puas makannya 😀
____
Lah ini dia Menado eh Sulut produsen kakao nasional, mengelamuti daging buah yang terasa manis ya Jeng
Saya pribadi tidak terlalu getol sama cokelat, kalau makan cokelat murahan tenggorokan jadi ngulik gatal ?? Patut dibanggakan sudah ada produk asli dalam negeri Indonesia yang bisa jadi pilihan para chocolate connoisseur 🙂 Penulisan mereknya agak aneh, tapi kalau ditulis ‘mangga’ akan dikira buah mangga (pelem), hehehe…
Oh ya, dulu semasa sekolah kalau lewat Jalan Kepunton di Solo, ada satu rumah yang ada pohon cokelatnya di halaman depan dan sering juga berbuah.
____
Ada beberapa teman yang tidak hanya tidak suka makan/minum cokelat malahan cenderung alergi kesehatan.
Betul penulisannya agak aneh karena aksara Jawa biasanya berbasis ha na ca ra ka, diperkaya dengan sandangan seumpama ga ditaling tarung jadi go
Jalan Keponton masih tetap ngangeni loh, buah kakao berukuran cukup besar menempel di pokok batang, dahan maupun ranting jadi pemandangan indah.