Menghitung Hari
Lanjutan dari blusukan di jembatan Tuntang….. Kisahku bermula dari penanda 1914, yah terentang jarak waktu seabad silam di awal 2015. Aku direntang dari besi tuang, ditempa menjadi lintasan panjang menghubungkan Ambarawa ke Toentang yang berakhir di Kedoengjati.
Masa muda dengan tampilan rosa perkasa, menghantar hasil bumi kopi dari kebun ke pabrik lalu ke kota, menyapa para meneer dan toewan menikmati rasa. Tak hanya kopi, masa serdadu bertopi menjadi tamu tetapku selama masa pendoedoekan hingga perdjoeangan.
Dari nadir menuju nadir aku kan tetap hadir. Meski kini aku tak serosa dulu, keceriaan wisatawan yang bernostalgia dengan kereta api uap tetap kuhantar. Sapaan, usapan dan kegembiraan pengunjung melegakan tetes keringatku saat si kuda api mak itam merayap di tulangku. Ingatanku melayang pada kembaranku mak itam yang melintas dari tepian Danau Singkarak di Ranah Minang.
Seperti pemazmur mendaras, ajari hamba mengitung hari-hari kami agar kami beroleh hati yang bijaksana, begitupun hari-hari ku rel panjang kiranya menghantar hati yang bijaksana kepada setiap pelintas yang belajar menghitung hari, menikmati keindahan setiap masa dari muda hingga menua.
1914 hingga kini tak lekang ditelan zaman dan makin kokoh….
trimakasi ibu untuk bernostalgia.. 🙂
____
Tetap mengular sepanjang masa…Mari bernostalgia…
Tulisan sarat makna dilengkapi foto dengan sudut pengambilan yang pas. Bu Prih memang top . . .
____
Tulisan tanpa sarat koq Pak Krish, berbonus ada kereta pas lewat. Dengan kepiawaian Pak Krish pasti hadir foto2 apik. Salam
Adem banget baca tulisan mbak Prih yang ini, sampe merinding, mbak…dari rel kereta api ini tersimpan sejuta makna yang memperkaya hati…peluk, mbak!
___
Pandainya Jeng Irma mbombong eh membesarkan hati… Ayo Jeng ngagem jaket biar gak mrinding hehe
Alam seputar kita adalah guru kehidupan ya Jeng. Peluk hangat semoga suatu saat bersua..
Keren sekali ‘sepur kluthuk’ dan rel peninggalkan Belanda masih dikelola dengan bagus dan dijadikan objek wisata. Jadi ingat kata-kata ‘Living one day at a time’ 🙂
___
Jadi kangen dengan sepur kluthuk Solo ya…. nguri-uri kekayaan alam di seputar kitapun jadi wisata diri yang melegakan.
Ping-balik: Keningar di Puncak Bukit Rong | RyNaRi
sekarang dari museum ambarawa ada rute baru ke tuntang ya..? baru denger denger dari koran pengen nyobain tapi belum sempat. sebenarnya yang belum sempat itu dompetnya gara gara baca tarifnya mahal kalo naik kereta wisata, hehe
____
Apa khabar Mas, koq tumben ketangkep spam ya. Ambarawa-Toentang bisa masal koq Mas jadwal rutin di hari libur, rasanya tarif masih rasional (lama gak cek juga) yang mahal rute Ambarawa-Jambu Bedono plus pesan dulu.
Salam
Menjalankan setiap peran yang diamanahi dengan ikhlas dan tanggungjawab adalah salah satu cara mengisi hari-hari dengan menyenangkan ya Bu Prih.. 🙂
___
Terima kasih Uda Vizon tambahan berharganya. Keiklasan dan tanggung jawab sebagai bekal menikmati anugerah hari.
Salam
Sambil menghitung hari juga bisa memanfaatkan hari-hari itu dengan baik ya bun
____
Sangat sepakat Jeng, menghitung hari menikmati pertumbuhan Cal-Vin seraya membimbingnya. Salam
Bu Prih apa ikutan naik kereta uapnya?. Pasti menyenangkanya naik kereta disuguhi pemandangan serba hijau 😉 .
_____
Nostalgia kereta uap, tut…tutt..melaju ke Jerman jumpa Ben (wuih merajut mimpi). Iya Jeng sekitar rawa sawah menghijau
Duuh baca kata demi katanya bikin gimanaaaa gitu … Indah bahasanya… kapan ya bisa menulis spt ini ..? *sambil ngelamun* 😀
____
Teteh Wie aya-aya wae, postingan gaje ala rel kereta api dg impian menuju tempat Teteh Wie hehe…