Tag

, , , ,

Sedulur Sikep Blimbing Blora

Paguyuban Sedulur Sikep Blimbing

Paguyuban Sedulur Sikep Blimbing

Setelah menempuh perjalanan hampir 5 jam dari Salatiga, bus yang mengantar teruna kebun memasuki Dusun Blimbing, Desa Sambongrejo, Kecamatan Sambong, Kabupaten Blora. Suasana khas alas/hutan jati (Tectona grandis) sungguh terasa, cerecet burung, hijau merimbun di akhir Januari dengan meranumnya barisan jagung di keteduhannya, sebelum penampakan meranggas  saat kemarau. Dengan dampingan petugas dari Dinas Pariwisata Blora kami disambut Bapak Warsa yang berbusana setelan hitam dengan ikat wulung di kepala menuju joglo Paguyuban Sedulur Sikep.

Dusun Blimbing - Blora

Dusun Blimbing – Blora

Sedulur sikep-pemukiman

Sedulur sikep-pemukiman

Pemukiman yang rapi dengan materi dasar tentunya kayu jati bercat semarak biru, hijau, merah muda dan kuning mengingatkan sejenak suasana desa Panglipuran di Bali. Dengan sentuhan sedulur arsitektura tak ayal lagi kekuatan desa adat Sedulur Sikep Blimbing ini semakin moncer.  Pria baya berkharisma yang kemudian kami ketahui sebagai Mbah Pram menyambut kami di bangunan joglo. “Seger waras….inggih sami-sami seger waras” adalah salam khas sedulur sikep.

Sedulur Sikep-mbah Pram di Joglo

Sedulur Sikep-mbah Pram di Joglo

Sedulur sikep adalah warga di beberapa wilayah yang menganut paham saminisme yang diajarkan oleh Kaki Samin Soerosentika atau Raden Kohar, bangsawan yang menyatakan sikap perlawanan kepada penjajah Belanda secara unik khas. Pengikut ajaran saminisme ini lazim disebut wong Samin yang berkembang di Sukalila (Kab Pati), Kelapa Duwur (Kab Blora), Blimbing (Kab Blora) maupun Bojonegoro. Dalam perkembangannya sebutan wong Samin sering sekali dikaitkan dengan sifat membangkang dan berkonotasi negatif sehingga sedulur samin ini mendeklarasikan diri dengan sebutan Sedulur Sikep. Bahasan tentang Wong Samin dan Sedulur Sikep, banyak tersedia di aneka referensi, postingan ringan ini lebih pada sesaat bersama dan belajar dari sedulur sikep Blimbing.

Sedulur Sikep Mbah Pram, Ayah, Anak dan Cucu

Sesepuh Sedulur Sikep Blimbing Mbah Midi, Mbah Pram, Pak Warsa dan generasi ke 4 nya

Mbah Pram (Pramugi Prawira Wijaya) putra Mbah Karmidi, pemimpin dengan kemampuan komunikasi wicara yang luar biasa yang mampu mengajak teruna kebun dari aneka wilayah Aceh hingga Papua diskusi dengan seru. Apalagi dengan suguhan minuman segar, jagung rebus plus sepiring nasi kare ayam di tengah hari. “Sedulur sikep suka disalahartikan sebagai orang miring, karena kalau ditanya jawabnya aneh” demikian terang mbah Pram. Semisal saat ditanya umur berapa? Satu…loh kalau 50 kan banyak sekali, umur ya satu sejak lahir hingga meninggal. Petugas sensus zaman Belanda dibuat bingung, sapinya berapa mbah? Satu..loh koq suara dari kandang ramai…ada dua, jantan betina….loh yang benar berapa….ada empat, coba aja hitung kakinya.

Dusun Blimbing-Desa Sambongrejo-Blora

Dusun Blimbing-Desa Sambongrejo-Blora

Saat ditanya apakah sekarang juga masih membangkang terhadap NKRI..ooh tidak, kami menerima aneka stimulus dan program pembangunan dari pemerintah dan kami terapkan sesuai dengan nilai dan ajaran kemandirian daerah kami. Sekolah, rumah ibadah juga tersedia di Dusun Blimbing ini. Mbah Pram yang mengaku jebolan S4 SD klas 4 ini fasih berbahasa Indonesia, selama pertemuan beberapa kali disela deringan telepon genggam dan antrian tetamu yang akan bertemu.

Sesanti yang diugemi oleh Sedulur sikep Blimbing adalah demen, becik, rukun, seger dan waras. Pun larangan yang harus dipatuhi adalah drengki, srei, panasten, dahwen dan kemeren. [jabarannya bisa  satu buku sendiri] Sebagai penandanya adalah ucapan, pertikel (pemikiran) serta tingkah laku. Luar biasa integritas menyatunya kata ucap dan kata tindak yang diwarnai oleh kearifan lokal sedulur sikep.

Tidak terasa 2,5 jam kami gayeng jagongan (asyik berdiskusi) dengan Mbah Pram beserta jajaran sedulur sikep Blimbing. Saatnya pamitan kamipun undur diri, meninggalkan Blora, menyusuri Rembang dengan selingan sejumput senja di Kaliori, menikmati kepala manyung di Juwana dan hampir tengah malam tiba di Salatiga. Di hati kami tersemat kearifan lokal berharga dari dusun Blimbing di keteduhan alas jati.

[postingan di 29 Februari, tahun kabisat]