Tag
Dewa Siwa, kail asa, Museum Kailasa Dieng, purwaceng, Siwa Nandisawahanamurti, tumbuhan endemik Dieng
Kail Asa di Museum Kailasa Dieng
Lahir dan dibesarkan di pinggiran kota kaya museum bukan berarti saya pecinta museum. Bersentuhan awal dengan museum malahan di museum geologi Bandung, teriring celetuk gumun koq ya ada yang begitu cinta dengan bebatuan kuna lagi. Lupa sudah bahwa museum laksana jembatan penghubung masa kini dengan akarnya di masa lalu, kehidupan kini menjadi serpihan museum masa yang akan datang.
Gegara ngeblog, ‘berkenalan’ dengan peri gigi pecinta alam maupun budaya, penebar virus lirik museum, pastinya banyak sahabat mengenal beliau Mbak Monda Siregar. Meski belum terinfeksi virus kenal museum, minimal kini ada greget lirik museum.
Museum Kailasa Dieng
Bangunan dengan lansekap menyatu alam di tebing gigir gunung tepian dataran tinggi Dieng itulah Museum Kailasa Dieng. Kailasa bermakna kahyangan Dewa Siwa penegas kedudukan Dieng sebagai pusat tatanan religius Hindu aliran Siwa. [mendobrak tatanan alam bawah sadar yang tertanam Dewa Brahma dan Wisnu sang pencipta dan pemelihara, serta Siwa sang perusak, ternyata pemahamannya lebih kompleks] Diresmikan oleh MenBudPar Jero Wacik pada tanggal 28 Juli 2008 bangunan ini memiliki arsitektura yang elok, bangunan mirip tabung sebagai ruang display dan teater dengan atap berupa pelataran untuk aneka perform.
Museum bukan hanya sekedar tempat penyimpan benda kuna, melalui media tersebut pengunjung diajak menyesap sari filosofinya, menatanya dalam harmoni yang merangkai kebahagiaan. Sayangnya tak terlalu banyak pengunjung meski pengunjung kawasan wisata Dieng di hari Sabtu tersebut cukup banyak.
Hujan deras tengah hari menjadi sarana mengajak belasan taruna kebun yang berteduh usai sembahyang di kawasan museum untuk masuk ke museum dan teaternya dengan HTM @5K. Menikmati display foto dan visualisasi arca candi, kami memasuki ruang teater. Terima kasih Bapak petugas yang menyuguhkan tak hanya film berdurasi 8 menit namun menambahkannya dengan film kedua belasan menit yang bernarasi tanpa teks berjalan. Film yang merangkum pesona alam, sejarah, proses rekonstruksi cagar budaya, kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat yang sungguh apik. Semula petugas menyangka kami dari arkeologi dan tak semua kami mampu menikmatinya, beberapa teruna kebun lebih memanfaatkan rehat di teater seraya tidur dilanjut dengan aksi foto-foto masa muda penuh kreasi.
Daya pesona film dan display di museum Kailasa menjadi pendongkrak semangat kami untuk berlanjut menerobos hujan mengamati kebun kentang di tepian Telaga Balekambang. Menyusuri jalan setapak berpagar rapi bunga kecubung menuju kompleks Candi Arjuna.
Kail Asa di Kailasa Museum
Kail asa di museum Kailasa, mengail harapan dari museum ini. Paparan keragaman tumbuhan asli Dieng, utamanya purwoceng yang tumbuhan endemik menjadi harapan biofarmaka cemerlang di masa mendatang. Aneka produk yang melabel purwoceng menjadi produk unggulan daerah.
Salah satu perwujudan Siwa melalui nandi (lembu) dan arca khas Dieng diantaranya Siwa Nandisawahanamurti berupa Siwa yang mengendarai nandi. Semoga perlambang Siwa mengendarai lembu sebagai sarana pemeliharaan alam pencurah kemakmuran dapat dirasakan oleh masyarakat setempat. Nandi pada beberapa tempat ditemukan di persawahan sebagai simbol kesuburan lahan.
Integrasi ternak mengait penyediaan hijauan rumput yang akan ditanam di bibir teras kelerengan yang pada gilirannya mampu menekan erosi. Pupuk kandang dari lembu menyuburkan lahan mendatangkan kemakmuran, peningkatan daya pegang tanah akan air sehingga upaya pompanisasi telaga balekambang tak bertambah beban.
Yah kail asa, menebar harap kiranya Siwa Nandisawahanamurti, pemeliharaan dari sang akarya kita respon dengan merawat alam anugerah sebagai keseharian ungkapan syukur.
Ping-balik: Plesiran di Gangsiran Aswotomo | RyNaRi
DeMiyashita lumayan senang ke Museum mbak, tapi yang bahasa Jepang. Kalau Museum di Indonesia susah, anak-anak tidak ngerti bahasa Indonesia jadi akunya ngga bisa lama-lama di Museum. huhuhu
___
Terasa sekali passion di postingan museum perjalanan DeMiyashita. Betul mbak, bahasa dan penghayatan sejarah pengikat emosi jadi sarana cinta museum
Waune kula kinten namine museum Kaliasa… jebule Kailasa… eh, nek Kaliasa niku wonten Salatiga nggih bu.. hihi…
___
Sami Jeng saya sempat salah eja ternyata Kailasa yang berarti kahyangan Siwa. mangga ditunggu di Kaliyasa Salatiga…
Ping-balik: Pesona Candi Arjuna Dieng | RyNaRi
Aku waktu ke Dieng tak masuk ke museum Kail Asa ini Mbak Prih. Itu lah ruginya kalau berjalan dengan wisatawan namun bukan blogger, daya jelajahnya terbatas hehehe…
___
Memang Dieng luas sekali dengan aneka jenis wisata alam, budaya, sejarah maupun kuliner
Selalu ada sudut2 yang terlewat. yang saya kunjungi baru seuprit dari keelokan Dieng. Yook kapan2 janjian ke Dieng nih Uni Evi. Salam