Coretan dari Kayugiyang di Pinggang Gunung Sindoro
Embun masih menggantung saat kami berarak menuju Desa Kayugiyang, Kecamatan Garung, Kabupaten Wonosobo memenuhi undangan Pak Pram. “Masuk dari sini lalu naiiiiikk terus Bu, sampai mentok” demikian jawaban GPS (gunakan penduduk setempat) arah Dieng menunjuk koordinat tempat. Ooo ….. mari bersiap menanjak dan menanjak hingga dusun terakhir tepat di perbatasan Taman Nasional di Gunung Sindoro dari lereng Barat.
Hamparan ladang sayur menghijau, sapaan ramah penduduk yang sedang bekerja di kebun, kabut dari rinai hujan mengiring kami. Sedikit lewat dari pukul sembilan, setelah hampir empat jam perjalanan kami memasuki rumah Pak Kades Kayugiyang di Dusun Banaran. Sambutan hangat dulur Sindoro bersama kepulan harum teh Tambi bonus tempe kemul panas mengajak cacing dalam perut kami serasa berdiang di dingin atisnya cuaca gunug.
“Ini lho Bapak Ibu, si ‘kleting kuning’ yang bikin kami peniiing……” demikian papar dulur tani cabai. Selain fluktuasi harga dari cabai seharga uang kertas merah, ke biru hingga terjun bebas ke beberapa lembar uang kertas Patimura, petani dihantui oleh ‘virus kuning’ yang mereka sebut ‘momok’ cabai. Dari amatan menanjak lereng Sindoro, hamparan kuning hampir merata di lereng bawah dan semakin berkurang saat di lereng tengah.
Dulur tani Enggal Makmur secara swasembada membangun sekolah lapang pengendalian virus kuning pada cabai. Penggunaan barrier penghalang tanaman, kelambu jaring, pemanfaatan Trichoderma untuk meningkatkan kesehatan tanah mereka terapkan. Mendengar lalu lupa, melihat maka sedikit ingat, mencoba melakukan akan mendapatkan pengalaman diterapkan. Apresiasi luar biasa untuk krida para dulur tani Enggal Makmur ini, semoga dengan dukungan banyak pihak mewujud pada kemakmuran warga.
Memasuki desa di lereng atas Sindoro ini terasa khas. Jalanan sempit terjal beralas batu gunung, pemukiman yang mengelompok dengan pekarangan relatif sempit hingga jarak antar rumah serasa sekian jangkah, pun ketinggian rumah untuk menyungkup panas. Kearifan budaya lokal membaca alam, menangkup kehangatan, menepis alunan angin yang mewujud pada pola pemukiman seraya membiarkan alam bebas dipenuhi tetumbuhan di luar pemukiman.
Kembali semakin diteguhkan bahwa bertani pada hakekatnya adalah menjalin relasi, relasi dengan Hyang Pencipta, relasi dengan alam, relasi dengan sesama ngaurip (manusia, tumbuhan maupun hewan). Keseimbangan ekologis yang terjaga, pembiaran musuh alami sahabat petani, biarkan mereka menjadi penjaga kebun cabai, menjadi sarana kemakmuran. Jelang pukul dua usai menikmati pasugatan kami pamit…. Terima kasih Pak Pram dan para dulur yang mengundang kami menikmati dan belajar dari alam melalui coretan dari Kayugiyang di pinggang Gunung Sindoro ini. Salam
Trima kasih buat pengalaman menarik yang sudah dibagi ini, mbak…seneng bacanya, seneng juga lihat-lihat fotonya…kereeeeen!
____
Terima kasih Jeng Irma, sudah berkenan menikmati cerita Kayugiyang, menyatunya alam dan manusia untuk menghadirkan kesejahteraan
Betapa indahnya menyaksikan kehijaun di sepanjang perjalanan…..
Apalagi ditemani oleh kepulan harum teh Tambi, tempe panas dan mengepul dalam suasana dingin
Enaknya…. 🙂
___
Bonus dari blusukan di kebun aja Uda
Dalam rangka apa, mbak? Kesini. Pengen punya kesempatan berinteraksi lebih dekat dengan petani. Kemarin itu ke Dieng gak berkesempatan untuk itu.
___
Kelompok tani buka sekolah lapang Mbak Donna. Hayu aja kalau jalan-jalan ada kontak penyuluh lapang biar bisa interaksi langsung dengan masyarakat tani. Terima kasih Mbak Donna berkenan singgah di kebun ini. Salam
kena virus cabenya?
cabe lagi jadi raja loh saat ini,mahaal. ..ikut seneng kalo naiknya harga cabai dinikmati sama petaninya,sayangnya kebanyakan yang menikmati tengkulaknya 😦
*lah jadi ngomongin harga cabai 😀
dulu di sindoro masih tanaman sawi sama kol yang saya liat, saat menapak sindoro, udara sindoro yang khas dan airnya diingiiiin bingggit, alhamdulilah sudah sampai di sindoro 🙂
___
Makan combro dulu plus cabe rawit ah….iya nih Jeng Wiend kita menyoal cabe
Iya saat di Temanggung Pos Posong menyoal lereng Timur kini dari Kayugiyang Wonosobo dari lereng Barat Sindoro, lah muncaknya saya nyerah sama Jeng Wiend. Emak2 menikmati dari pinggangnya saja…
Hama-hama selalu mengintai petani. Agar panen tidak gagal mau tak mau mereka minta bantuan pestisida. Semoga teknologi pertanian tambah maju ya Mbak Prih, sehingga pestisida alami cukup dalam menanggulangi hama kuning ini
___
Dengan kerjasama aneka pihak ya Uni Evi
Lestari alamnya, sejahtera pengelolanya
cara alamiah ini sudah berhasil mbak?
mudah2an produksi cabai bisa banyak lagi
___
Secara percobaan lab sudah ada datanya mbak, ini skala penerapan lapang oleh petani
Pembelajaran dari kerarifan lokal masayrakat petani di sekolah alamnya yang luar biasa. Di ulas dari sudt pandang sederhana, namun menyentuh setiap titik pena yang mengulir di atas alur pena berjalan di atas lempeng bumi dengan setiap dawai kehidupan. Hm,,,,,, mantaps….. nice Mba. 😀
___
Ikutan belajar dari ‘kelas sekolah’ Pak Indra, …untaian kata Pak Indra mengalur pena…..
Saya pernah membaca ttg ‘begomovirus’ yang rupanya selain menyerang tanaman cabe juga bisa menyerang tomat, terong dan legume. Apakah virus kuning itu sama dengan begomovirus? Ikut sedih atas nasib petani yg cabenya terserang penyakit ini.
___
Keganasan begomovirus yang secara umum dikenal dengan virus gemini dengan vektor kutu kebul mewabah di hamparan cabe. Petani di Kayugiyang sedang menerapkan keseimbangan ekolologi dengan sanitasi lingkungan dan kesehatan tanaman. Salam hangat