Menanti Senja di Bukit Cinta
Menikmati santai di sore hari….mari melaju ke Bukit Cinta di tepian Rawa Pening. Selalu ada cinta di ekosistem Rawa Pening, kesatuan bentang alam dan masyarakat disajikan pada postingan sebelumnya. Kini giliran tampilan senja di tepian rawa….
Usai parkir kendaraan, mari membeli tiket masuk (saat itu 7K perorang) di loket yang berada di ceruk mulut menganga, sedangkan di sisi kanan mencuat bagian ekornya. Yaap visualisasi dari legenda Baru Klinthing yang dipercaya sebagai asal mula Rawa Pening. Baru Klinthing digambarkan sedang melingkar memeluk punthuk Bukit Cinta.
Mendaki bukit berundak berpayungkan kerimbunan tumbuhan, di sisi kanan terlihat petilasan Ki Godho Pameling berupa lingga-yoni bercungkup, calon bangunan megah berdiri di bagian puncak sebagai arena pegelaran aneka pertunjukan. Kemudian menuruni undakan di bagian dermaga perahu yang siap menghantar pelancong menikmati rawa.
Kami memilih alur ke kiri, saatnya menikmati bola mentari turun ke peraduan di senja hari. Mengintip matahari dari dedaunan, tanpa menyadari sedang diintip oleh capung di ujung ranting yang secara gesit diintip oleh Mas Mbarep, episode intip mengintip…
Perlahan bola jingga bergulir…
Saat kelabu membingkai jingga, sisi horison lain menampilkan permainan biru…
Senja berbingkai lembayung, kembali secara gesit dibidik Mbarep…
Saatnya ‘srengenge angslup’ matahari terbenam, perlahan keseimbangan kosmis bergeser….terang meredup, panas menyusut…… Permainan warna langit yang paling indah segera digelar bagi yang sabar menantikannya (kami tidak sempat menikmatinya, keburu pulang sebelum tersaput gelap). Saat kami kecil, Bapak Ibu menyebutnya candhik ayu, jingga berpadu dengan lembayung biru, kami menikmatinya dengan diam menyesapnya dalam ingatan, sebelum biru tua memeluknya dan orang tua kami memeluk kami untuk masuk ke dalam rumah.
Para orang tua menandainya sebagai senja kala, sandya kala….saatnya Batara Kala meronda bumi. Getarnya menggelisahkan jiwa nan bersih, bayi menjadi resah dan rewel, sehingga Ibu selalu mengingatkan memeluk jagoan saat kecil dalam kehangatan dada bundanya. Sandya kala, sandya berarti doa dan kala bermakna waktu/saat, yah waktunya berdoa, mengucap syukur atas anugerah hari ini. Saatnya raga rehat, jam biologis mengaturnya, kelelahan meningkat saat surya meredup. Pengingat bahwa Batara Kala mengintip siap menerkam jalma manusia yang tidak mampu mensyukuri anugerah waktu hari ini, kesehatan dan kekuatan hari ini, mari saatnya rehat……
Ping-balik: Pulang….. | RyNaRi
wih… mirip lokasi pembuatan film, ya…
___
Berencana shooting film disinikah Yudi. Salam
Ibuuu, apa kabar?
Jika ada Abang Ronde di situ, kayaknya enggak mempedulikan sandya kala, yaa. 😆
Mohon maaf lahir dan batin ta, Bu. ^-*
___
Sama-sama saling memaafkan ya mBak Idah
Terima kasih kami sehat, berharap yg terbaik buat kelg Mbanjarnegara
Hehe Abang rondenya nungguin Idah di Rawa Pening..
Salam
senja itu selalu cantik ^_^
___
Iya Jeng Chi, senyum mentari usai laksanakan dharmanya.
Indah sekali Bu Prih..
Anugerah Ilahi yang patut disyukuri..
____
Terima kasih Uda Vizon, sungguh hanya karena AnugerahNya saja
Jadi inget cerita rawapening. Dulu suka diceritain sama embah
____
Model cerita Embah, sarana pembelajaran tak terlupakan ya Jeng Ika.
Senja yang cantik, Bu.
Saatnya anak-anak masuk ke dalam rumah 🙂
___
Secantik pengantin baru dari Kaltim hehe
Siap Kakaakin, masuk rumah cuci tangan dan kaki saatnya aktivitas malam.
senja di bukit cinta mengenang petuah bijak orangtua,
pagi, siang itu tak selamanya, senja waktunya rehat dan syukur,
bertemu senja adalah sebuah anugerah 🙂
___
Tarimo kasi Uni, pemaknaan yang sangat indah
…bertemu senja adalah sebuah anugerah :)….luar biasa