Tag

, , ,

Srawung Pasar

Lombok rawit

Lombok rawit

Ini cerita ringan dari pasar tradisional. Sesi pertama di Pasar Jongke, saat mudik lebaran di lereng Lawu. Meski sepèn bagian logistik masih menampakkan sediaan, Ibu sebagai komandan brayat menghendaki ke pasar, saya dan 6S mengajukan diri sebagai pendamping. Pergi ke pasar tradisional memiliki keasyikan tersendiri pun membutuhkan kedisiplinan mengendalikan nafsu belanja yang berlebihan, semua tampak segar dan relatif lebih murah, ngawe-awe diboyong pulang. Belum lagi aneka jajan pasar yang ngangeni, kalau tak diingatkan dengan hukum siapa beli wajib bertanggung jawab, tangan ini sudah risih ingin membawanya.

‘Yu, minta kacang panjang seikat, digenapi dengan timun saja nggih’ Ibu nibakke (memberikan uang pas), mbakyu bakul dengan cekatan mewadahinya.

Tertarik dengan cabe yang gendut merah, saya nyeletuk, ‘Lombok dari mana, Lik’

‘Dari Koripan, Bu’

‘Koripan….’ Hampir berbarengan Ibu dan saya merespon. ‘Inggih Bu Mantri, saya bla..bla..masih saudaranya bla..bla..bla…’ [sebutan Bu Mantri, karena berpuluh tahun lalu Bapak ngasta sebagai mantri guru di seberang G. Mangadeg] Walhasil sejumlah timun, cabe dan kapri ditumpukkan ke dalam belanjaan selama kami ngobrol.

‘Sudah Yu, sudah Lik’ stop kami, ‘tidak mengapa ini timun wungkuk jaga imbuh’ sahutnya. Maksudnya timun yang agak bengkok utuk sekedar tambahan, padahal yang ditambahkan beneran timun lurus besar. Sebagai bakul beliau menerapkan sesanti tuna satak bathi sanak, yang secara harafiah bermakna tak mengapa sedikit rugi barang dagangan, berbuahkan tersambungnya persaudaraan.

[Sungguh saya terpikat dengan kecerdasan dan efektivitas komunikasi mbakyu bakul. Beliau mengenali kami namun segan menyapa, lah iya kalau langsung nyambung. Pertanyaan saya, lombok dari mana? Ditangkapnya sebagai entry point, disebutlah sebuah Desa bukan Kecamatan, yah Desa nun dipinggiran kota Kabupaten yang kami respon spontan. Desa yang membekali saya dengan ijazah SD.  Sapaan Bu Mantri dan kaitan jejaring pasrawungan yang kami kenal digulirkan dengan efisien. Luar biasa, mbakyu bakul adalah komunikator yang hebat, cerdas, efisien, efektif]

***

Sesi kedua, di Pasar Jetis, Salatiga. Cukup lama tidak ke pasar, kangen juga. Spot pertama di Mbok bakul sega jagung, urap, sambel korek plus peyek gereh, bertemu dan ngobrol hangat dengan kenalan. Pindah yuk ke bakul pisang, berjumpa dengan kenalan lain yang cukup lama tidak bersua, saling berkhabar keluarga.

Lanjut disebelahnya bakul tales ngawe-awe, ibu lama tidak mampir ke sini, tangannya segera mengisi kantung, menambahkan pepaya mungil dan menyebut sejumlah harga, saat saya puji jeruk nipisnya, langsung dipilihkannya sejumlah jeruk nipis dan menjumlahkan harganya. Komunikasi yang efektif efisien karena saya tidak sempat menawar harga dagangan hehe….. Berbonus ketemu dengan alumni kebun yang belanja bumbu dapur, ingat wajah tanpa berhasil mengingat nama meski mengobrol lumayan ramai.

Dari jauh disapa grapyak (ramah) wajah tak asing tanpa berhasil mengundang ingatan nama [blaik setelah di rumah baru teringat, beliau tetangga yang jualan bubur tumpang langganan] Disegerakan keluar dari pasar, semakin banyak berjumpa kenalan di pasar lah kok semakin lupa tak ingat nama, seakan daya ingat direnggut oleh denyut danyang pasar. [adakah teman yang senada, meski ngobrol lama, data nama belum terkoneksi di memori]

Semakin meneguhkan srawung (pergaulan) di pasar tradisional itu ngangeni. Pasar bukan hanya tempat transaksi, namun sekaligus perekat komunitas apalagi bagi kami penghuni kota kecil. Bagaimana srawung pasar sahabat?