Tag
Day visual artist, Galuh Larasati, Maskumambang, Nawung, Nawung putri malu dari Jawa, Pucung, tembang macapat
Nawung, antara Maskumambang hingga Pucung
Pesona Nawung putri malu dari Jawa

Nawung (credit)
Tampilan halaman depan yang unik membuat Ragil mengangsurkan buku tersebut di suatu pameran buku. Hm..terasa guratan tangan penyajiannya, semacam peri kebun menyembul dari dedaunan layaknya buku dongeng. Membaliknya menyimak blurb berikut:
“Nawung Sekar, lahir dari keluarga sederhana, di desa yang tidak jauh dari pelataran tempat Dinasti Syailendra memuja sang Buddha. Perangainya kalem dan agak pendiam. Sejak kecil ia telah memiliki sosial yang tinggi. Ia mudah menitikkan air mata saat melihat kesusahan dan kesedihan orang lain dan selalu berusaha menolong dengan sepenuh hati.
Baginya hidup adalah belajar segala sesuatu. Belajar di mana saja. Banyak kesempatan yang terengkuh membuat Nawung luber ilmu. Kesenangan memburu ilmu itulah yang memacu Nawung menemukan cara unik dalam mendapatkan ilmu. Ia tidak pernah kehilangan akal untuk bisa belajar.
Ia selalu berkata, “Aku dulu dengan mudah mendapatkan pengetahuan melalui sahabat-sahabatku. Karena itu, kini aku akan mempermudah mereka untuk belajar apa saja dariku. “Intinya, ia ingin menyampaikan bahwa dalam hidup ini manusia harus selalu menjaga hubungan batin dengan Gusti Allah, senantiasa mengasihi sesama, dan merawat tempat kita berpijak”
Buku Nawung putri malu dari Jawa, novel perdana Galuh Larasati terbitan Galang Pustaka menemani tunggu kebun. Pengantar awal dari Maria A. Sardjono salah satu novelis favorit saya, beliau mengulas:” ………… Saya tertegun menyadari, hari ini telah lahir lagi seorang sastrawati “ Semakin penasaran….
Tertegun di daftar isi, melarik sebelas bab bertajuk tembang macapat mulai dari Maskumambang, Mijil hingga Pucung. Sekar macapat penyandra tahapan kehidupan manusia sejak dari kandungan hingga saatnya kembali ke haribaan Sang Khalik. Semakin berdebar menyimaknya.
Maskumambang mengawali kisah, tembang tentang embrio yang berkembang di rahim bunda. Pasangan Kasih merapal doa menyambut kelahiran sang wuragil yang kemudian diberi tenger Nawung Sekar, salah satu tarian daerah Jawa. Kisah berawal… jatuh cinta pada buku ini sejak subbab pertama. Metamorfose Nawung Sekar sang pembelajar tangguh, pecinta sesama dan alam tergambar secara natural melalui jalinan antar bab ibarat tenunan tembang macapat .
Masa kecil bocah bumi Kenayan digelar melalui sekar Mijil, pupuk kasih sayang keluarga dan elusan angin Borobudur membuat kembang Nawung semakin mekar. Perawan desa dengan sejuta talenta dan mimpi bagaikan Sinom yang mempercantik wajah bangsa. Peri cilik Nawung memikat lingkungannya dari Magelang, Jakarta hingga sakura matahari Timurpun mengundangnya.
Hukum alam berlaku baginya, saat tembang Asmarandana membelai Nawung melalui Angkasa duta pembauran, ada Jonathan van Masow, penegas bahwa cinta kasih tak memandang batas wilayah. Saatnya Kinanthi mandiri. Berani menentang arus, saat temannya berkutat di kelas, Nawung memandang kehidupan adalah universitasnya.
Gambuh, Dhandanggula, Pangkur serta Durma membabar masa-masa puncak perkembangan Nawung Sekar, memberi arti dan diri dari dan pada kehidupan. Dinamika yang luar biasa diracik oleh penulisnya. “Cerita dalam buku ini adalah hasil pengendapan. Perenungan dari perjalanan hidup dan pengalaman batin yang membawa setiap manusia pada proses memaknai hidup menuju puncak kemurnian diri dan jiwa” Demikian pengantar Jeng Larasati. Novel ini membuktikan betapa menep-nya jiwa sang penulis, yang menjangkau puncak kemurnian. Tembang Megatruh maupun Pucung ujung kehidupan di ngarcapada tidak langsung dialami oleh Nawang, kebeningan jiwanya yang memampukannya memaknai peristiwa duka dalam karya.
Ilustrasi Pangkur
Keelokan sampul buku berlanjut di setiap bab. Bukan komik namun buku ini kaya ilustrasi. Day sang visual artist memaknai ilustrasi sebagai stoping page dan bagi saya luar biasa bagaimana menyalin simbol kata dalam gambar. Episode Pangkur adalah favorit saya.
Pangkur mengingatkan masa kecil kami, bila Simbah maupun Ibu Bapak nembang “Mingkar mingkuring angkara/ Akarana karenan mardi siwi/ Sinawung resmining kidung/ Sinuba sinukarta/ Mrih kertarta akartining ngèlmu luhung/ Kang tumrap ning tanah Jawa/ Agama ageming aji” ……. Suasana langsung sirep bahkan kami kecil meski belum menangkap makna dimampukan menangkap pesan untuk menata diri dalam hening.
Pangkur merupakan tembang macapat yang memiliki watak luhur. Sesiapapun yang mendamba kebaikan bagi diri dan sesama harus mau introspeksi diri, mungkur atau meninggalkan jalan pembuka kontra, menjauhi kebencian sehingga memperoleh cinta sejati. Sang penulis membabarnya melalui tiga subbab see yourself, love yourself dan be yourself. [mengingatkan saya akan Bunda Ly pejuang tangguh]
Day sang illustrator menuangkannya dalam simbol yang kaya makna. Tumbuhan dan burung digunakannya sebagai penyampai pesan (hal 242-265). Pastilah tukang kebun suka. Ranting kering menjadi berdaun lebat dan berbuah kebaikan, raut wajah tegang menjadi luruh menep.
Resensi maupun riview bukan ranah saya, hanya menikmati bacaan sekaligus mengapresiasinya. Bila tokoh Nawung Sekar begitu hidup karena senyatanya pewujudan dari dimensi riil dan harapan sang penulisnya. Selamat terus berkarya Jeng Galuh Larasati juga Mas Day. Salam hormat saya.
Catatan: Jeng Galuh Larasati sangat ramah saling berbalas WA di tengah kesibukan beliau mempersiapkan diri di Ubud Writers and Readers Festival.
Ping-balik: Sup Ayam | RyNaRi
ranah ini juga bukan ranah saya,banyak hal yang belum saya ketahui..
tapi salut untuk yang bisa menulisnya dengan apik.. 🙂
____
Nah kita ranah icip buah hutan yang enak saja ya….
Duh….selalu saja aku masih harus mengulang membaca tentang macapat ini Ry
karena begitu sangat minim nya pengetahuanku tentang hal ini.
( apalagi ingatanku kini makin parah …. 😦 )
Untungnya dirimu selalu mau terus berbagi ….. 🙂
Dan, aku sukaaaa sekali dengan ilustrasi paling bawah karya Mas Day itu, begitu jelas memberikan dimensi perbedaan wajah sang perempuan …
( masih harus belajar banyak untuk mencerna tulisan tulisanmu yang penuh filosofi hidup dan pembelajaran bagi kita semua ,Ry…hiks )
Salam
____
Selalu terkesima dengan keteladanan kerendahhatian Bunda Ly
Terima kasih ya Bunda selalu berbagi anugerah kehidupan.
Salam
jadi ingat waktu SMP pernah membuat tugas membuat lirik dengan aturan tembang2 macapat bu Prih, dan susah bangeeeet, hebat novel ini malah menyajikan cerita dengan beragam macapat ya, pantas saja kalau dianggap sebagai karya sastrawi.
____
Nah ini dia ahli tembang macapat Neng Orin. Iya ada patokan guru lagu dan guru wilangannya, sejak dulu abdi mah tos angkat tangan.
Sepakat Neng, ibu Maria A. Sardjono memandangnya sebagai karya sastrawi.
Selamat terus berkarya Orin
Macapat, Masya Allah, sepanjang hidup saya baru sekali menyaksikan orang membaca Macapat, itupu di tv. Budaya ini lama-kelamaan bisa hilang jika tidak dilestarikan ya Jeng.
Betapa sedikitnya anak muda yang menekunim budaya adiluhung. Mereka baru demo sambil mbakar ban manakala budaya kita diambil bangsa lain.
Buku yang menarik.
Matur nuwun artikelnya.
Salam hangat dari Surabaya
____
Terima kasih Pakdhe, sepakat apresiasi luar biasa untuk sahabat yang menekuni budaya adiluhung
Kalau Pakdhe yang nembang pasti pendengar kesengsem dengan petuah yang dinadanarasikan,
Salam
Nama-nama tembang yang sekarang sudah jarang aku dengar ini ternyata menjadi penanda perkembangan sang tokoh ya Bu. Pasti menarik sekali. Mudah-mudahan aku bisa menemukannya di toko buku setempat
____
Sekar Macapat dulu menjadi tembang yang harus dilagukan murid, saat anak2 kami belajar nembang welah artikulasinya bengkok hehe. Bagian dari menyerap nilai luhur warisan budaya ya Pak. Salam
Maturnuwun info ttg buku ini, Bu Prih… semoga saya dapat membaca buku ini juga dan menemukan keindahan yang ibu babarkan di sini… 🙂
___
Sami-sami Diajeng. Saya menunggu buku karya-karya Diajeng berikutnya. Salam hangat
melihat ilustrasi sampul buku kukira ini kisah untuk anak2 mbak
tapi ternyata buku ini penuh pesan yang digali dari kekayaan budaya dari macapat…., menarik pastinya
____
Sepakat Mbak Monda, meski bernuansa budaya Jawa nilai yang dianut bersifat universal Nusantara. Salam
Aku gak ngerti apa maksudnya dari ilustrasi Sekar Pangkur dalam foto hitam putih itu, Mbak Prih. Tapi kesannya sedih ya?
___
Uni Evi, aneka interpretasi dari Sekar Pangkur, salah satunya dari novel ini saat kita ‘mungkur’ melalui see ourself, akan berproses love ourself dan be ourself berbuah baik bagi diri maupun sesama. Dan itu ditangkap utuh melalui ilustrasi elok ini. Salam