Tag

,

Para Pendongeng

Dongeng Pendongeng

Mendengarkan dongeng merupakan bagian dari kesenangan, kemewahan dan kehangatan masa kecil kami. Waktu yang kami tunggu-tunggu dengan gembira. Pendongeng favorit kami tentunya Bapak dan Ibu, ada kalanya Simbah Kakung atau Putri juga berbagi dongeng. Rasanya koleksi dongeng di ingatan Bapak dan Ibu tak ada habisnya, bahkan meskipun terjadi pengulangan dongeng kami tetap menikmatinya karena tidak akan sama persis, selalu ada perubahan entah intonasi ataupun tokoh utama-pendampingnya.

Tidak ada koleksi buku dongeng di rumah kami saat itu. Koleksi Bapak Ibu didominasi buku sejarah dan sastra baik kumpulan puisi maupun prosa semisal Siti Nurbaya, Atheis, Layar Terkembang, Salah Asuhan (hehe bacaannya menunjukkan wajah tahun berapa ya…) Kemampuan mendongeng berasal dari kemampuan bahasa tutur dari ingatan dan diolah dengan improvisasi khas Bapak Ibu. Aneka dongeng dari kisah Panji adaptasi sejarah Jenggala, fabel dengan penokohan binatang ataupun pewayangan dengan besutan untuk pikiran kanak-kanak.

Seiring waktu sebagian tugas mendongeng bergulir pada si S1pembarep (sulung) dengan pola yang sama mendasarkan ingatan yang berpotensi terjadi penyimpangan alur maupun reduksi isi. Imajinasi kakak kanak-kanak mendongeng bagi adik-adiknya menjadi semacam aliran cerita tanpa mampu memompakan semangat wejangan apalagi olah budi pekerti.

Era berubah sewaktu kami mengawali peran sebagai orang tua, ketersediaan buku dongeng maupun kaset dongeng berlimpah. Namun kebiasaan lisan bercerita tetap berlaku. Yang berubah adalah respon si pendengar yang lebih kritis, mendengar cerita Cindelaras dari emak dan bapaknya dengan alur dan gaya bahasa yang berbeda mereka sudah bertanya loh koq beda. Apalagi saat mereka belajar dan mulai lancar membaca cerita aslinya. Pun model cerita ‘ayo pada bobo siang ntar dibawa wewe gombel’ sudah tidak njamani, lah mereka bertanya ‘wewe gombel rumahnya dimana? Di sana boleh nonton TV terus nggak?’

Pria Pendongeng

Beberapa siang yang lalu saya mendapat kunjungan ‘Pria Pendongeng dan Hikayat 27 Malam’ Mari pinarak pria pendongeng, betapa rindu saya mendengar eh membaca dongeng panjenengan…. ‘Dongeng yang aku ceritakan tidak sembarang dongeng,sebab aku tak ingin memberikan kisah yang sia-sia belaka. Ada nasihat dan hikmah terselip pada dongeng-dongeng yang aku ceritakan’ (hal 1).

Pria Pendongeng

Pria Pendongeng

Idealnya selama 27 malam, pria pendongeng menceritakan dongengnya satu persatu dengan gaya khasnya, dan pembaca bersabar berproses mencerna lalu menyerap sari pati nasihat dan hikmah dari setiap dongengnya. Namun saya kembali ke masa kecil membujuk pria pendongeng untuk mendongeng secara maraton yang boleh saya nikmati kurang dari 27 malam (yang tidak mampu saya lakukan kepada Bapak, lah koleksi dongengnya ada di hati beliau, hehe). Bersyukur pria pendongeng berkenan membukukan dongeng beliau sehingga dapat dinikmati kapan saja, di mana saja bersama siapa saja..

Mengikuti prosesi ‘Majapahit membayar hutang’ lalu terpikat dengan ‘Taj Mahal simbol cinta abadi’ polemik dan intrik dalam ‘Rara Oyi calon selir Amangkurat’, aha ada ‘Anggrek untuk Mendut’, tergelak dalam adegan ‘Bambang Sukodok mencuri cinta Peri Sungai’ lanjut termehek-mehek ‘Demi cintaku padamu Kakang Pabelan’.

Buku-buku karya Mas Guskar di rak rynari

Buku-buku karya Mas Guskar di rak rynari

Maturnuwun sanget Mas Guskar Suryatmojo, apresiasi untuk karya yang tiada henti. Para pembaca kebun rynari ingin menikmati dongeng ini? Silakan kontak pendongeng di kyaine2010@gmail.com