Pulang…..
Kata pulang sungguh sederhana, terdiri dari 2 huruf hidup/vokal dan 4 huruf mati/konsonan. Entah berapa kali sehari kita mengucapkannya. Kata pulang selalu menceriakan susuh keluarga saat anak burung menceriapkannya ke induk mereka. Tak perduli betapa sering dari jadwal mingguan hingga berjalin bulan. Tak peduli pula seberapa singkat dari semingguan hingga waktu singkat di Sabtu subuh hingga Minggu siang memanfaatkan liburan akhir pekan saja. Singkatnya waktu maupun panjangnya jeda kejadian terulang tak mampu mengubah terminologi pulang menjadi tilik atau menjenguk. Kata pulang mampu memompakan semangat, meniupkan rasa tenteram, kembali ke rumah, kembali ke asal, meringkuk di susuh yang membesarkannya dalam keluarga.
Ini nukilan kisah saat menemani Mas Tengah saat pulang dengan sejenak menikmati sore di tepian Rawa Pening di area pintu air keluar seputar Jembatan Tuntang. Hanya duduk di warung panggung, menikmati aktivitas di ekosistem rawa. “Mari induk kita pulang….” Mungkin itu yang dikatakan oleh ayam jago dan ayam putihpun mematuhinya, melompat dari satu sampan ke sampan lain untuk melangkah bersisian pulang ke kandang….
Perhatian mengamati nelayan di karamba sesaat terpecah saat seruan dengan nada lega gembira terucap dari seorang ibu muda, “mbah kung pulang….” Ujarnya sambil melambaikan tangan mungil kanak-kanak yang digendongnya. Tawa lebar dan lambaian tangan hangat dikirimkan oleh lelaki kekar berkulit gelap oleh tempaan panas matahari. Saatnya mbah kung pulang entah dari sawah di tepian rawa, atau menengok karamba ataupun memancing ikan. Mbah kung diiringi putri dan cucunya pulang ke keluarga yang menantinya.
Giliran pria bercaping mengayuh sampan ke tepian, menambatkannya dengan cermat diantara kawanan sampan, lalu haap….. melompat ke bantaran rawa dan bergegas pulang kepada keluarga yang dikasihinya.
Belum semua bergegas pulang, bapak bercaping hijau seolah berkata. “Pulang….. sebentar lagi ya, Nak…. Jaring bapak belum meraup ikan, sebentar bapak melaju ke bagian tengah berharap sejumlah perolehan dari berkah Rawa untuk kita serumah. Tunggu bapak di rumah…”
“Induk.kita pulang….” Yuup kamipun beranjang meninggalkan panggung warung kopi. “Kita menyusuri Rawa Pening ya…” Oke artinya perjalanan cukup panjang nih melingkar Rawa Pening melintas dari Kecamatan Tuntang, Kecamatan Ambarawa, Kecamatan Banyubiru dan kembali pulang ke Kota Salatiga. Pulang selalu menghadirkan kehangatan, saatnya rehat melepas penat. Alangkah indahnya saat kami pulang di ruas Tambakboyo, mentaripun memberi aba-aba melalui pendar jingganya…masuk ke peraduan, pulang ke rumah ibu alam ketatawian kosmis senjakala penanda waktu pulang.
Suka sekali dengan foto-foto perahunya 🙂
Sejak papa dan mama saya sudah tidak ada lagi, pulang ke Indonesia rasanya akan ada kekosongan. Makanya bagi semuanya yg orang tuanya masih hidup, yang sering-sering sowan ya……..
____
Terima kasih Mbak, pengingat untuk pulang ke haribaan orang tua
Betul mbak, kata pulang itu selalu identik dengan kenyamanan…kenapa ya?
Kemanapun kita pergi, seindah apapun tempat kita menginap, seenak apapun makanan yang kita santap, tapi pulang selalu jadi harapan untk makan nikmat dan tidur nyenyak 🙂
___
Khas Emak sekali ya Jeng, kata pulang selalu membius
Semangat menunggu saat anggota keluarga pulang..
salam
Sama-sama berkunjung ke suatu tempat, tapi kalau kunjungan itu adalah pulang, maka rasanya sungguh berbeda ya Bu
____
Masalah labelling ya Pak, membuat perbedaan rasa hehe…