Rasa Bahasa
Loh memangnya bahasa memiliki rasa? Tulisan ini lahir dari komentar Ragil yang tanpa SK saya dhapuk menjadi proof reader sesaat sebelum tombol terbitkan ditekan. Gaya amat menulis di blog pribadi saja mempergunakan jasa ‘pencicip tulisan’, tentunya tidak semua postingan saya mintakan pendapatnya sebagai penyaring, kebanyakan tulisan bersifat spontan, tulis langsung terbitkan dengan editing sekenanya dan typo disana-sini.
Usai membaca draf yang saya mintakan komentarnya, aneka ekspresi Ragil yang saya peroleh. “Oke Ma ….” “ng… koq ada yang terasa melompat ya alur tulisannya” “…beneran mau publish ini, kayaknya bukan Mama banget loh” “khas Mama, meski aku nggak begitu suka” Karena ungkapan disampaikan persis di depan saya, bisa terasa responnya melalui irama, berat ringannya suara maupun bahasa tubuhnya.
Rasa bahasa dan sahabat
Menyoal rasa bahasa, saya berguru pada Kyaine Padeblogan sang penulis produktif. Beliau bertutur bahwa rasa bahasa berkaitan dengan gaya bahasa dan pemahaman bahwa bahasa bagian dari cara menyapa pembacanya. Gaya bahasa tidak melulu pada kaidah bahasa namun lebih pada seni meramu bahasa. Proses panjang tanpa jemu menulis dan menulis sehingga didapat ramuan yang tepat. Mari simak dan cicipi karya beliau, sungguh tak mau berhenti sebelum halaman terakhir, ada saatnya manggut-manggut, boleh ngakak juga, tak jarang menghadirkan rasa gemas. Beliau memberikan tips untuk mendapatkan rasa bahasa tulis yang enak dengan cara belajar membuat dan membaca sajak-sajak. [Itu modal membuat tulisan ringkas, bernas memikat. Weladhalah Mase….lah membaca tulisan panjang cetha wela-wela jelas saja kurang mudheng apalagi membaca sajak, wis sajak angel tenan. Terima kasih Kyaine, ikutan belajar meramu rasa bahasa]
Pelajaran berikutnya saya dapat dari seorang penulis yang dimuat di Kompas 12 Agustus 2005. Beliau menuliskan bahasa itu seni berkomunikasi yang tidak hanya melulu mengikuti kaidah bahasa namun juga melalui rasa. Betapa sering kita terikat secara emosional dengan pesan yang disampaikan, apalagi dengan sarana bantu nada dan irama, meski secara tata bahasa kita tidak memahami detail. Salah satu kesimpulan yang beliau angkat adalah, betapa menariknya bahasa diajarkan melalui lagu disamping kaidah tata bahasa yang pakem. Rasa bahasa itu sungguh ada dan terasa manis.
Seni mengenali rasa bahasa yang juga menjadi penciri tulisan seseorang dengan kemasan yang menarik menjadi pemikat banyak pembaca. Mari simak edisi “KARSINI” karya siapa ini? Edisi spesial yang disuguhkan di blog Dhimas NH18 trainer inspiratif. Acara yang selalu ditunggu-tunggu penggemarnya (sstt meski saya belum punya nyali untuk mengirim tulisan, merasa tak memiliki rasa khas yang bisa dikenali sahabat). Saat-saat mendebarkan baik bagi pembaca untuk mengenali karya siapa ini maupun bagi empunya karya yang dipajang, adakah sahabat mengenali karyanya.
Rasa Bahasa Kebun
Menulis pada dasarnya merangkai huruf menjadi kata, kata menjadi kalimat lalu paragraf hingga menjadi tulisan utuh. Bagi saya pribadi, pokoknya tulis saja dulu apa adanya, ada saatnya dienapkan lalu ditata ulang dengan penambahan pengurangan, bisa jadi diterbitkan ataupun menjadi penghuni setia draf. Utamanya sarana belajar mengemukakan pokok pikiran dan meramunya dalam tulisan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa warna dan gaya bahasa sangat dipengaruhi oleh latar belakang peramunya. Selaku tukang kebun yang kesehariannya tandur, matun, ngrabuk dan tertawa lepas saat panen ini pula yang mewarnai tulisan. Lah mboseni kan …. pembaca sudah bisa menebak, kisah kebun dan kebun lagi. Sangat mengagumi sahabat penulis yang dengan piawai keluar dari dunia kesehariannya dan peramu yang apik dari tulisan karyanya.
Selamat berolah pikir dan kata serta meramunya dalam rasa bahasa khas Anda
chris13jkt said:
Tulisan Bu Prih itu nggak mboseni koq, Bu. Justru dengan membaca tulisan Bu Prih aku mendapat banyak pelajaran dari alam yang kalau coba ditangkap langsung malah kelewat terus
___
Hehe terima kasih Pak Krish untuk bersabar hati membaca tulisan ala kebun. Melakukan yang disukai jadi lebih mudah. Salam
Lois said:
Selesai menulis, rasanya tak ada yang salah baik tata bahasa maupun ejaannya. Jadi terus ‘print’…. besoknya dibaca lagi eh….. ternyata pasti ada saja kesalahannya, terutama kalau pakai bhs. Inggris.
___
Haha sama Mbak, menulis dengan bunga-bunga typo maupun salah tata bahasa. Selamat terus berbagi melalui tulisan.
alrisblog said:
Saya menulis apa yang lagi demen bagi saya, atau apa yang ada fotonya saya miliki. Saya tiap hari berkutat dengan dunia pertukangan alias tukang bangunan tapi kagok kalo menulis tentang bangunan.
___
Iyo Uda, menulis yang disukai kadang malah menarasi foto saja, peran foto jadi sebagai pengait memori tentang materi yang dikupas
Lah bagian ini yang saya belum bisa Uda, masih senang di zona nyaman keseharian kebun saja…
naniknara said:
kalau saya juga belum bisa.
kalau nulisnya harus pakai mikir dulu, malah jadinya lamaaaaaaaaa banget. Atau bahkan lebih parah lagi, malah nggak jadi, baru dapat judulnya, terus isinya nggak ada.
____
Toss senada Jeng Naniek, pokoke menulis dan menulis sambil belajar
eviindrawanto said:
Walau sdh lama menulis di blog, aku belum menemukan rasa bahasaku yang pas Mbak Prih. Makanya aku paling malas membaca tulisan2 lamaku, kok ya jauh banget dari harapan, rasa yang kuinginkan. Entah gimana caranya ya agar bisa menulis dengan lucu, ringan, enak tapi ada isinya. Rasaku masih gado-gado cemplang hahaha…
____
Uni Evi…betapa menyejukkan komen Uni. Lah postingan Uni yang selalu membuat saya ternganga takjub bagaimana Uni meramu kata memilin ide sehingga enak dibaca koq dibilang gado-gado cemplang, cermin jurnalisme Uni yang selalu ingin berkembang.
Setiap membaca postingan sahabat itu pula yang saya rasa …”Entah gimana caranya ya agar bisa menulis dengan lucu, ringan, enak tapi ada isinya”…… Salam