Buah Bisbul di Borobudur
[Lah..Eyang mau diajak tindak ke Borobudur, mau belajar sejarah atau mendaki tangga Borobudur menuju puncak stupa, yang melelahkan? Yang masuk akal saja …… demikian komentar jagoan di rumah. Eits banyak cara menikmati dan mengagumi maha karya Borobudur warisan budaya tingkat dunia secara santai, bahkan bagi para adiyuswa…]
Setelah menghangatkan diri menikmati nasi goreng sega jagung di waroeng nggoenoeng, kami menghampiri dan melalui bahu G. Merbabu menuju Borobudur. Hasil penataan kawasan mulai terasa sejak memasuki pelataran, tersedia peta kawasan yang sangat bermanfaat bagi pengunjung untuk menata strategi menikmati maha karya ini.
Loket pembelian tiket masuk tertata rapi untuk mengantisipasi membludaknya pengunjung di hari libur, semoga semua berkenan menerapkan budaya antri dengan rapi. Berbekal tiket plastik mirip kartu ATM seharga 30K per orang pelancong lokal, pengunjung masuk ke jalur pintu masuk, kartu tanda masuk dipindai dan ‘ditelan’ mesin.
Taman dengan pepohonan peneduh menyambut pengunjung, hendak ke pusat informasi, menikmati pemutaran film atau memilih terus ke lokasi candi, ayo saja. Untuk menghampiri pintu masuk candi yang tidak terlalu jauh, tersedia aneka transportasi, bersukuter alias suku dipun puter/jalan kaki, ngonthel sepeda, naik andong/delman kereta kuda serasa bangsawan tempoe doeloe atau kereta kendaraan masal dengan rute memutari kawasan candi yang maha luas.
Kamipun memilih kereta agar bisa memandang candi dari semua penjuru kaki candi. Cukup dengan tiket seharga 7.5K perorang berbonus sebotol air mineral.
Kawasan seputar candi yang menghijau menjadi penyeimbang dari kekokohan dan kemegahan candi Borobudur yang kawentar. Kebersihan taman, rapinya pedestrian yang juga ramah bagi pengunjung berkursi roda menjadi bagian pelayanan tempat wisata aras dunia ini.
Bagi Ibu dan saya, menghirup udara dalam radius sekian km dari puncak stupa sudah kami maknai dengan berkah menikmati karya agung Candi Borobudur ini, melewatkan proses pradaksina. Melilit sarung bermotif candi sebagai bagian menghormati candi sebagai tempat ibadah.
Bersantai di kursi taman di keteduhan pepohonan seputar boulevard di kaki candi, membeli beberapa buku dan kartu pos candi untuk membekukan kenangan sejarah perjuangan wangsa Syailendra membangun candi. Melintas di taman Lumbini saat menuju pintu keluar, menengok ke belakang mengagumi kegagahan Borobudur berbingkai pohon Bodhi. Sementara cukup sudah ……. [Mari lanjut menikmati keteduhan Sendang Sono di lembah Bukit Menoreh]
Tumbuhan Bisbul di Borobudur
Tandan buah berwarna kecoklatan membulu halus ini menjuntai bergerombol di dekat loket tiket kereta. Petugas dengan ramah menjelaskan itulah pohon bisbul, silakan datang beberapa bulan lagi pasti buah merah meranumnya sudah bisa dinikmati. Menjadi bagian kilas mundur saat di Bogor menikmati beludru merah si bisbul alias velvet apple yang panen raya di bulan Maret-Mei.
Tanaman yang ditengarai berasal dari Filipina dengan nama lokalnya dalam bahasa Tagalok: kamagong, tabang atau mabolo perujuk bulu halus pada kulit buah. Kini menyebar ke banyak penjuru dengan aneka sebutan lokal semisal sembolo (bhs Jawa), marit (bhs Thai), buah mentega atau buah lemak (bhs Melayu). Tanaman ini di negeri asalnya dilindungi dengan undang-undang agar tidak punah.
Bisbul dengan tampilan eksotik ini bernama ilmiah Diospyrus blancoi A. bersaudara dengan kesemek si buah genit (Diospyros kaki) jadi pasangan yang saling melengkapi yang satu genit berbedak yang lain berbaju beludru merah. Masyarakat Jawa Barat relatif lebih mengenal rasa buah ini baik dikonsumsi sebagai buah meja tunggal ataupun komponen rujak.
Bisbul menjadi anggota dari keluarga Eboni alias si kayu hitam, bahan baku kerajinan tangan yang sangat berharga di Sulawesi Tengah. Tajuk pohon bisbul juga elok sebagai tumbuhan tepi jalan maupun elemen taman. Menitip harap taman di kawasan Borobudur juga menjadi taman pendidikan dengan tampilan keaneka ragaman tumbuhannya.
Oleh-oleh dari Borobudur, berjumpa pohon bisbul….
Menikmati candi Borobudur ternyata tidak melulu harus mendaki sampai ke puncak ya Bu. Malah dengan berkeliling di bawah Bu Prih bisa menikmati sisi lainnya yang sering dilewatkan oleh para pelancong yang langsung menuju puncaknya
____
Aha ini pembenaran cara yang tidak uat mendaki tangga Pak. Afdolnya mengitari dari bawah, mendaki candi dengan cara pradaksina, menikmati seputar candi dari puncak dilanjutkan dengan kunjungan antar museum diseputar candi. Eh fajar dan senja bernuansa candi Borobudur pasti diincar Pak Krish juga. Salam
Ternyata memang masih saudaranya kesemek ya Bu, mirip.
Duh, kapan ya ke Borobudur. Fauzan penasaran dengan candi ini.
____
Sumuhun Jeng Dey sesama anggota genus diospyros…
Nanti ya Fauzan, saat Papa Mama agak longgar waktu bisa antar nanda ke candi Borobudur…
kalau ke Borobudur, saya selalu ke candinya. Sepertinya asik juga menikmati borobudur dengan cara lain seperti ini 🙂
____
Hehe berawal muter dulu dengan kereta baru Keke Nai diajak ke atas Jeng Chi….