Tag
ketatawian alam, Ketep Pass., Ketep Vulcano Centre, Mbah Marto Pengamat Gunung Merapi Pertama di Pos Krinjing
Mbah Marto Pengamat Gunung Merapi Pertama di Pos Krinjing
“Mbah Marto Pengamat Gunung Merapi Pertama di Pos Krinjing yang sekarang pindah di Pos Babadan” demikian keterangan yang tertera di bawah foto kakek gagah bersorot mata awas yang didokumentasikan di Museum Ketep Vulcano Centre di komplek Ketep Pass. Meski tanpa uraian, dokumen tersebut menunjukkan betapa pentingnya peran seorang pengamat. Pengamat yang bekerja dengan cermat, mengasah kepekaan semua indera pengamatan mulai dari pendengaran, penglihatan, penciuman, rasa di tekstur kulit hingga amatan rasa kebeningan jiwa. Mengamati dengan teliti, mencatat baik melalui ingatan maupun tulisan secara teratur patuh.
Seorang pengamat yang patuh pada keteraturan ketatawian alam, melapor secara verbal maupun melalui isyarat sorot mata teduh bila semua komponen berjalan laras, senyumnya mampu menenteramkan warga setempat. Sosok pengamat sejati hanya berbicara seperlunya. Merespon melalui jenggitan sorot mata bila dirasakan kejanggalan irama alam maupun terusiknya ketenangan batin, gerak bergegasnya serta rona gelisahnya mampu membuat giris dan siaga siapapun yang bersua.
Beliau meyakini bahwa gejala alam yang tidak biasanya, sing ora sakbaene atau nganeh-anehi patut diwaspadai meski tidak secara langsung membaca bukunya sang mister yang mengatakan bahwa bencana alias disaster berasal dari kata dis astro, keluar dari pakem ketatawian alam. Kecintaan pada tugasnya membuatnya dijuluki abdi kinasih sing mbaureksa melahirkan sikap hormat segan kepada setiap tuturnya.
Kesahihan amatannya yang lahir melalui proses panjang membantu punggawa yang dilaporinya melakukan prediksi dengan lebih akurat, merancang tindakan sehingga meminimalkan korban. Pemahaman bahwa gunung api dan lingkungannya merupakan kesatuan dalam harmoni.
Mbah Marto masa kini mengamati dengan bantuan peralatan modern namun jiwa yang mendasarinya tetap sama. Sebagai pemegang amanah harmoni alam, mengasah kepekaan membaca tanda alam serta kepatuhan pada keteraturan alam. Tutur kata pernyataannya dipilah dengan jelas kapan tenang menenteramkan, kapan berintonasi keras agar semua pihak waspada.
Tak dipungkiri bahwa krida “mBah Marto masa kini” tak selamanya mulus, kadang ditimbrung oleh “mbah Marto kukila” yang ngganter (rajin berkicau nyaring) tanpa bekal kejelian pengamatan yang seksama, sehingga kicauannya sulit dianut warga malah cenderung memicu gelisah. ”Mbah Marto kukila” ini merebak dibanyak pos.
Terima kasih mBah Marto, semangat pengabdian simbah kiranya mewaris kepada pengamat kini.
Catatan: Luar biasa, postingan ini mengait pada kesetiaan tokoh mBah Kertadikara, yang diikuti oleh putra (mBah Djumangi, Gatotkaca dari Merapi), cucu (Bapak Sugiyono) dan bahkan kini buyut beliau (Alzwar Nurmanaji) mengabdikan diri sebagai pengamat Gunung Merapi di Pos Selo (sisi Utara Merapi). Sumber: dari komen Mas Rofiknya Rzr dan googling dok Suara Merdeka.
Ping-balik: Pesona Sad Arga | RyNaRi
chris13jkt said:
Dengan peralatan modern seharusnya pengamatan bisa lebih akurat sehingga tindakan antisipasi bencana bisa dilakukan. Sayangnya karena kebanyakan yang berkicau dengan berbagai tujuan, akhirnya alat modern seolah tidak berguna dan korban tetap jatuh ya Bu. Sayang sekali 😦
____
Akurasinya semakin tinggi ya Pak untuk prediksi, yang juga perlu dibarengi dengan kepatuhan dan kerja sama semua pihak…
….Sayangnya karena kebanyakan yang berkicau dengan berbagai tujuan…..semoga terkendali dan bersedia mengendalikan diri, terima kasih Pak tambahan berharganya.
Lidya said:
kalau tidak ada gunung meleuts saya malah kurang mengenal sosok mbah marto dan mbah2 penjaga lainnya bun
___
Beliau-beliau bekerja dalam diam, mencatat gejala alam
edratna said:
Dulu, manusia mengamati perubahan alam lingkungan, dan memahami jika ada hal-hal yang kurang pas.
Sekarang…bingung mendengarkan berbagai kicauan….
Kita beruntung memiliki orang-orang seperti mbah Marto.
____
Ibu…apa khabar rindunya dengan tulisan2 ibu
Betul ibu, kita bersyukur dengan ketekunan dan kecintaan ‘mBah Marto’ menjalankan tugas panggilan
penyeimbang antara alam dan rekadaya manusia
Salam hangat kami ibu…
ceritabudi said:
Jika dulu si mbah mengamatinya lebih banyak menggunakan naluri kedekatan alam kali mbak yach…mulai dari hawa, gerak binatang, atau sejenisnya..kini ditambah dengan alat yang modern tentu lebih mendekati ke akuratan mbak yach…
Banyak orang yang menggantungkan informasi tentang kondisi gunung merapi dari si “Mbah Marto,” kira-kira seberapa besar kepedulian orang-orang “ITU” terhadap “Mbah Marto” ya mbak?
____
Alat modern untuk mengukur kepekaan rasa dengan cara yang lebih akurat ya Bli
Kehalusan rasa Bli menyertai empati kepada pasukan ‘mBah Marto’ dalam tugas, matur suksma Bli
giewahyudi said:
Kalau gunung meletus, orang-orang seperti Mbah Marto ini pasti disorot, tapi pas aman-aman aja biasanya dilupakan. Oya, itu foto yang di Ketep Pass kayaknya dua foto yang digabungkan ya?
____
Beliau-beliau pekerja sesuai dengan panggilan hatinya
Iya digabung jajar saja, dari satu titik serong kiri lihat Merbabu serong kanan dikit terlihat Merapi.
Salam