Tag

,

Kumpule Balung Pisah dan Kepaten Obor

satu tangkai rejasa

setangkai rejasa

“Sugeng Riyadi Mbah……” “Apa khabar dik….” Sering membuat anak-anak kami tertegun, yang kami sapa Mbah seorang remaja berusia belasan tahun, sedangkan yang kami sapa Dik pasangan kakek nenek. Kekerabatan yang menghasilkan aneka strata sebutan, oleh-oleh dari momen kumpule balung pisah.

Ini bukan ulasan novel berbahasa Jawa “Kumpule Balung Pisah” yang kawentar. Kumpule balung pisah yang secara harafiah berarti berkumpulnya tulang yang berserakan digunakan sebagai penggambaran berkumpulnya kerabat yang terhubung oleh garis keturunan baik langsung maupun tak langsung.

Sewaktu Simbah masih sugeng, lebaran pertama Bapak Ibu menggiring kami sowan ke Tasikmadu dan lebaran kedua ke Harjosari. Bapak sebagai sesepuhing brayat menghaturkan sungkeman [ada yang menyebutnya ujung] dan kami anggota keluarga tinggal mengikutinya. Perjumpaan keluarga besar (nunggal Mbah), kami menyebutnya ring 1 secara rutin membuat kami hapal dengan sapaan sesuai dengan ‘pangkat kekerabatan’ Namun saat berhadapan dengan keluarga ring 2 (nunggal Mbah Buyut) ke atas bawah beda 2 generasi mulailah kami bingung. Menunggu isyarat dari Bapak Ibu, bila beliau menyapa sugeng Kangmas Mbakyu berarti kami akan menyapa sugeng Pakdhe Budhe dan menyalami putra putri beliau mas mbak tak peduli kadang mereka masih bayi. Biar tidak kepaten obor (kehilangan jejak kekerabatan), begitu Bapak Ibu melibatkan kami dalam perarakan kumpule balung pisah.

[Kami kecil mencoba mengingatnya dengan metode amatan, Pakdhe yang tinggi besar kumisnya tebal mirip Werkudara, budhe yang tusuk kondenya kinclong, bulik yang grapyak sumanak, mbak yang gingsul manis dll]

Aneka event sebagai sarana berkumpul brayat diantaranya jagong bila ada yang mempunyai hajat semisal pernikahan (ngobrolnya relatif terbatas), layatan perkabungan (teriring suasana duka) yang paling asyiik ramai saat Riyadin Lebaran. Selalu ada nada haru saat berkumpul keluarga besar ini, terkenang anggota keluarga yang berpulang dan disambut rona bahagia masuknya wajah asing yang digandeng kerabat menjadi warga baru yang pertemuan tahun berikutnya sudah mbopong bayi.

Kini giliran generasi kami yang sudah menua yang menjadi penyelenggara ataupun memimpin perarakan brayat dalam event kumpule balung pisah. Kami juga membebaskan peringkat sapaan, beberapa malah cukup panggil nama saja. Momen kumpule balung pisah episode 2014 ini, kami hanya sempat mengikuti 2 event yaitu di Tasikmadu di rumah Bulik adik dari garis Bapak. Kemudian beralih ke Budhe kakak dari garis Ibu. Anak-anak mendata wah ada puluhan nih yang sama-sama merantau di hutan beton, saling mencatat kontak biar tidak kepaten obor. Berkumpul hanya sekitar 3 jam, terkalahkan perjalanan panjang hampir 8.5 jam Salatiga-Karanganyar pp bersama ribuan pemudik merayap memadati jalur utama.

[Peribahasa “mangan ra mangan asal ngumpul” nampaknya sedang dilanggar karena dalam perhelatan kumpule balung pisah selalu ngumpul dan mangan, dan penganan pengikat antar kunjungan adalah tape ketan berbungkus daun yang kami santap bersendokkan emping melinjo]

…..Hm…sangat disayangkan saya kehilangan momen berjumpa dengan narablog penulis yang saya kagumi, balung terserak di Karawang yang juga sedang mudik. Beliau bagian dari balung yang terikat oleh almamater SMA yang sama, asal daerah yang sama alias tetanggaan, ndilalah juga karib dari Dik Ris adik ipar saya…lah kumpule balung pisah juga. Semoga kesempatan lain bisa jumpa nggih, biar tidak kepaten obor.

Bagaimana dengan kenangan kumpule balung pisah dan menjaga tidak kepaten obor di lingkungan sahabat?