Potret Perempuan Nelayan Banyutowo
Hujan deras mengiringi dan menyambut perjalanan teruna kebun selama hampir 5 jam dari Salatiga menuju Desa Banyutowo di Kecamatan Dukuhseti, Kabupaten Pati. Derai hujan tak menghalangi minat belajar dari kehidupan nelayan Banyutowo. Mari berteduh di gedung Tempat Pelelangan Ikan (TPI) dan menyerap sebagian nilai kehidupan, dan saya terpikat dengan kiprah perempuan nelayan Banyutowo ini.
Desa Banyutowo sebagai desa pesisir yang akrab dengan air laut dan payau tentunya merindukan air tawar, doa pengharapan yang terpenuhi dengan keberadaan sumur berair tawar menjadi asal penamaan desa Banyutowo ini. [banyu adalah air, towo berarti tawar, bhs Jawa] Kini air tawar melimpah mengalir di desa ini.
Gedung TPI baru bercat biru tepat menghadap ke pantai, mempermudah pengangkutan hasil tangkapan (yang lama hanya belasan meter ke arah darat). Bila keriuhan di laut dan pantai didominasi oleh para lelaki nelayan, di bagian penjualan saatnya perempuan berkiprah.
Sebagian perempuan menjajakan hasil tangkapan untuk dilelang, sebagian perempuan adalah bakul ikan yang kulakan, ada ibu-ibu cantik memborong ikan segar dan bagian sang suami untuk membayarnya. Beberapa perempuan menata dagangannya dengan seni menarik pembeli, perempuan lain menebar tanda daun pisang, sobekan plastik yang ternyata penanda asal perahu sehingga mempermudah transaksi usai lelang.
Perempuan lain menjajakan penganan seperti nasi jagung dkk untuk pengunjung maupun pedagang ikan. Perempuan bercaping dan bersepeda dilengkapi rombong menjajakan sayuran bagi penjual ikan. ooh mata rantai yang dijalin oleh banyak perempuan. Saat kami berkunjung masih terlalu awal untuk puncak pelelangan ikan yang biasanya dimulai usai pukul 13.00 kursi tinggi menjulang di tengah TPI adalah singgasana juru lelang masih kosong.
Mendekati perempuan calon pembeli ikan yang tidak segera kulakan saya bertanya mengapa, beliau bertutur tentang mengenali kesegaran ikan, mana yang harus segera dimasak, mana yang untuk dagangan. Dengan cekatan beliau segera memburu gundukan ikan yang sedang dicurahkan. Seorang perempuan lain, menuang sebagian ikan dari keranjang untuk dijual dan menyisakan sebagian yang lain untuk dibawanya kembali, saat saya tanya mengapa yah yang ini ikannya mulai membusuk kan kasihan pembelinya. Ooh belajar kesegaran ikan dari pengalaman perempuan nelayan yang belajar menyadari kesegaran adalah bagian gizi untuk kesejahteraan keluarga.
Pantai Banyutowo, Dukuhseti, Pati adalah bagian dari wisata andalan Kabupaten Pati. Dari kota jalurnya mudah, ke arah Utara melewati kecamatan Wedarijaksa, Margoyoso, Tayu kemudian Dukuhseti di ujungnya. Pantai ini juga dikenal dengan sebutan pantai Soimah karena setiap pengunjung TPI Banyutowo akan melalui rumah mbak Soimah Pancawati di pengkolan jalan dekat pelabuhan. Beliau adalah seniwati alumni perempuan nelayan cilik Banyutowo. [bergeser sedikit ke Barat Laut pelancong dapat mengunjungi Benteng Portugis, bagian dari Kab Jepara] Terima kasih para perempuan nelayan Desa Banyutowo yang bahu membahu dengan lelaki penangkap ikan, kiranya rezeki senantiasa dicukupkan melalui ikan dan udang yang menghampirimu.
bener2 wanita yang tangguh … mengingatkan sama menteri perikanan sekarang … 🙂
btw .. saya baru tahu soimah orang daerah sana
Hehe Ibu Susi dan mbak Soimah wujud pejuang tangguh nyata
Sejak saya masih kecil, wanita Jawa itu sudah ‘bakulan’ dan mama saya banyak ‘kulakan’ dari mereka yang ramah, ulet dan terampil. Kalau mereka datang membawa dagangan hasil bumi, wah ramai tawar menawar, bergurau dan tawa ria 🙂
Bekerja ‘bakulan’ sebagai panggilan dan dilakukan dengan girang…duh pekerjaan apapun bila dibawakan dengan suka cita asiiknya….
Selalu menyenangkan untuk bisa melihat langsung aktifitas di tempat-tempat seperti ini. Cuma aku bingung aja, bukannya biasanya pelelangan dilakukan pagi ya Bu?
Meski pejalan singgah sejenak tetap bisa belajar menikmati keseharian nelayan ya Pak. Nampaknya ada perbedaan jam lelang ya Pak.salam
keluarga nelayan bahu membahu, para bapak yang melaut giliran para ibu yang berjualan, kerja sama yang erat demi ekonomi keluarga
Yup,kelancaran ekonomi keluarga menjadi tanggung jawab bersama.
perempuan indonesia itu hebat2 dan kuat, serta serba bisa. salut dech pokoknya.
Harus ubet biar bisa ngliwet alias menanak nasi ya Lina. Salam perempuan..
Perempuan-perempuan hebat ;’) hihihi
Yup Febri, setiap perempuan hebat di hati keluarganya.
Aaaakh, bener banget mbak 🙂 setiap perempuan adalah hebat 🙂
Begitupun kaum lelakinya ya Mas, beliau pejuang tangguh di setiap bidang pilihannya.
mungkin mereka adalah “Srikandi” dan “Wonder Woman” dalam wujud nyata ya bun. 🙂
Mungkin juga, beliau mewujudnyatakan hakekat perempuan dan ibu ya Rangga.
Saya kagum dengan perempuan perkasa ini, sebagaimana saya mengagumi alm Ibu saya bertani dulu.
Ikan segar itu dimasak apa aja biasanya enak.
Perkasanya bunda menopang keluarga mendidik para buah hatinya ya Uda. Kagum syukur untuk para beliau
Benar Uda, mau bakar, goreng bahkan masak cemplung dengan rempah penawar amis menghadirkan rasa sedep.
Air coklat itu dari sungai ya mbak…
Tepian pantai kang Nur, indikasi erosi dari daratan. Hiks
Begitulah perempuan Indonesia ya Mbak Prih. Tangguh dan tidak cengeng. Bersama pria bahu-membahu mengangkat ekonomi keluarga. Pria yang jadi nelayan dan wanita yang jadi pedagang nya. Sungguh sebuah kerjasama yang sepadan
Iyo Uni Evi, bahu membahu dalam kerjasama sepadan. Sekian tahun lalu, kiprah TPI didominasi pria ya menjaring ya ‘menguangkannya’