Antara Sengkuni dan Togog Tejamantri
Gendhuk Limbuk melangkah sigrak ke ladang, langkah terhadang oleh beberapa teruna yang menyeru: “Tante Limbuk, bagaimana menjelaskan hubungan antara Sengkuni dan Togog Tejamantri?” “Tolong bantu kami, agar dapat mengerjakan tugas dari guru”
Sambil membatin [Tante…lah kapan jumpa Om kalian….] Limbuk menggamit mereka, mengajaknya ke gudang ilmu Bunda Dewi Saraswati: “Ini beberapa bahan penunjang, silakan dibaca….dipahami…diolah ulang dalam pikir dan ditulis berdasarkan pemahaman kalian ya. Nah, budhe tinggal ke ladang dahulu, saatnya panen mentimun keburu didahului Kancil, je”
Ini bagian dari catatan yang mereka tinggalkan
*****
Nama Sengkuni tetiba meningkat disebut di media masa, tokoh antagonis dengan perilaku menjengkelkan. Masa mudanya berparas rupawan, tutur kata cendekiawan menawan, menyemai bibit kelicikan seolah tak kelihatan. Bermodalkan kemonceran akal dan keluwesan tutur kata, memelintir kebenaran sebagai alat mencapai tujuan pribadi maupun golongan. Saatnya terbukti, bubrahnya tatanan oleh pemutarbalikan fakta, sangka uni….sengka uni…[berawal dari perkataan] jadilah Sengkuni alias Sangkuni si lidah ular berbisa, mulutnya dirobek sebagai pengingat kehati-hatian berolah kata.
Daya wisa Sengkuni semakin menjadi seolah tokoh tak kenal mati, secara wadag kebal senjata oleh baluran minyak tala disekujur tubuhnya. Hukum alam menunjukkan sehebat apapun titah selalu ada celah kelemahan dan Semarpun membisikan disini lho celahnya…. Melalui celah tersebut Sengkuni diblejeti, dikuliti hidup-hidup, sebagai bagian pengajaran hanya melalui pemblejetan total sarana musnahnya Sengkuni.
Togog Tejamantri, menjelma di bumi kaya pari sebagai jelmaan Bathara Antaga kembaran Ismaya (Semar) maupun Manikmaya. Bermodalkan kedigdayaan, rasa lebih berhak, ketiganya saling berebut kekuasaan melalui lomba nguntal gunung mahasamun. Takdir menyuratkan Antaga kalah telak, gunung meledak saat hendak ditelan, Ismayapun menelan gunung tanpa mampu memuntahkannya kembali. Keduanya diutus ke bumi sebagai pendamping manusia agar berbudi.
Berpenampilan mulut ndhower sebagai pengingat keberhasilan memuntahkan lambang keserakahan yang nyaris membunuhnya, Antaga menjelma menjadi Togog Tejamantri di negeri Sabrang. Bila Semar ditakdirkan mendampingi Pandawa, Togog dengan legawa menerima takdirnya untuk hidup di tengah klan Kurawa, bangsa raksasa maupun manusia berwatak durjana. Togog berjulukan pamong pembisik kesejatian bertugas menyuarakan kebenaran ditengah kebatilan agar momongannya kembali ke jalan fitri.
Sengkuni dan Togog ala kini
Ternyata sebelum Sengkuni musnah di padang Kurusetra saat perang bharatayudha, sempat melakukan cloning alias penggandaan diri serta mutasi genetik meningkatkan kekebalan. Salah satu indikasinya, upaya pemblejetan alias dikuliti hidup-hidup di media masa tak lagi membuat jera watak ular berbisa, malah berbalik memanfaatkan media masa sebagai sarana propaganda.
Begitupun Togog. Pada era pembauran kini, Togog bersama Semar para abdi penyuara kebenaran pendamping ksatria pengelola nagri semakin dituntut gencar dan cerdik sebagai pembisik. Merasuk ke dalam sistem tanpa harus kerasukan…… Kehilangan beberapa pasukannya karena tergoda beralih tugasnya dari pembisik menjadi yang harus dibisiki.
Sengkuni dan Togog merasuk ke dalam setiap diri saling mempengaruhi memenangkan pribadi. Kepekaan nurani sedang diasah memilah bisikan mereka berdua. Bila Togog mengadu ke Hyang Wenang, mengapa jiwa Sengkuni tetap ada dan mengganggu kerjanya bersama Semar, didapat jawab agar kebenaran semakin gencar disuarakan.
Melalui penataan jiwa semisal mesu diri cegah dhahar lan nendra, jiwa Sengkuni sedang diblejeti dan suara Togog nyaring diperdengarkan. Selamat mesu diri menuju fitri……
Diinspirasi oleh: Musnahnya Sengkuni. Januari 2013. Suwito Sarjono. Diva Press, serta, Togog Tejamantri. Juni 2013. Gesta Bayuadhy. Diva Press. Catatan: dua nama pena satu pribadi pengarang.
Ping-balik: Perjalanan ini….. | RyNaRi
Terima kasih, Bu Prih, atas ulasannya tentang dua buku karya saya: Musnahnya Sengkuni dan Togog Tejamantri. Salam damai….
Suwito Sarjono, http://suwitosarjonoo.blogspot.com/
____
Kabegjan besar karawuhan penulis besar dari buku2 yang saya kagumi. Selamat terus berkarya Pak Suwito, menebar damai….
Sayang sekali saya kesulitan komen di blogspot Pak Suwito, seandainya ada opsi nama, url akan lebih mudah. Salam
tulisan bu Prih jadi bahan utk instrospeksi diri,, 🙂
thanks for sharing bu.. 🙂
___
Sama-sama Jeng Tia, lebih sebagai pengingat diri, mawas diri..
Sambil membatin [Tante…lah kapan jumpa Om kalian….]
Jadi ingat bapaknya sahabat saya, Mbak. Kalo disapa, “Om”, wajahnya merengut. Akhirnya kami menyapanya dengan “Bapak” 🙂
____
Gendhuk Limbuknya suka sapaan apa saja Jeng Niar, emang hobi dia ngomong dalam hati hehe
Salam sapa dari Salatiga
bunda aku ngerapel baca postingan ya, ekamrin gak bisa bw
___
Mangga Jeng Lidya, berharap semua sehat saja…
Duh, Ry
diri ini jadi seperti bercermin di depan cermin bening
yang menampakkan dengan jelas
betapa ada tersisip jiwa Sengkuni diantara aliran kehidupan diri 😦
Semoga Tuhan selalu memberikan petunjuk agar diri ini tak melulu mengikuti polah tingkah Sengkuni …
Terimakasih Ry….
untuk artikel pengingat diri yang membuatku merenung
akan jadi sisi sebelah manakah diriku?
salam
____
Selalu tercenung dengan kepiawaian Bunda Ly merajut kata mengungkap makna
Lebih sekedar pengingat diri koq Bunda, semakin perlu belajar di rumah maya Bunda Ly
Salam hangat
orang orang bertipe sengkuni ini sangta berbahaya karena suka mengadu domba
____
Terima kasih. Dan tipe inipun berkembang dalam setiap diri kita, mari mewaspadai diri
Dari zamannya mahabarata sampai abad modern tokoh-tokoh seperti itu tidak akan sirna bahkab akan semakin banyak. Berkembang biak kali ya…
___
Istilahnya bagus ya berkembang biak…