Bei-Tou Incinerator restaurant di tempat pembakaran sampah
Saat kami kanak-kanak, jelang puncak kemarau ditandai dengan meruahnya guguran daun kering aking, udara terasa kerontang dan dini hari suhu sangat dingin. Yah memasuki mangsa bedhidhing….. Untuk memacu kami bangun pagi dan bersiap ke sekolah, bapak ibu mengijinkan kami bediang dengan membakar sampah daun aking, bahkan sesekali berbonus membakar ubi di tumpukan sampah tersebut, nikmatnya ubi mempur dari tempat pembakaran sampah. Berpuluh tahun kemudian di akhir tahun 2004, mengulanginya di tempat yang sangat berbeda, makan siang di Bei-Tou Incinerator restaurant.
Negara ‘daun tembakau’ [mirip dengan sosok pulau Taiwan] sangat komit dengan pengelolaan sampah. Basis utamanya adalah rumah tangga dengan langsung memilah sampah dengan kelompok, dipergunakan kembali (reutilization), di daur ulang secara biologis (recycle) dan sisa yang bersifat ‘rekalsitran’. Dengan penerapan konsep ini jumlah sampah yang benar-benar harus dimusnahkan sangat berkurang dan dilaksanakan dengan cara pembakaran melalui incinerator dan sisanya melalui land fill. Untuk proses pembakaranpun dilaksanakan dengan konsep yang utuh mengingat Taiwan memiliki sistem model TAQM (Taiwan Air Quality Modeling).
Nah ke tempat pembakaran sampah di Bei-Tou sebelah Utara kota Taipei inilah kami diajak. Bayangan awal pastinya tempatnya panas dan penuh bau asap…. Begitu tiba kami disambut di ruang theater yang mewah dan nyaman untuk menikmati tayangan proses pengelolaan sampah. Selanjutnya diajak menyaksikan proses pengolahan sejak sampah masuk, yang kesemuanya dilaksanakan pada satu bangunan raksasa, kami pengunjung bisa menikmatinya dari ruang observasi yang berdinding kaca. Seluruh kegiatan dilaksanakan secara mekanis dan dikendalikan computerized.
Uniknya bangunan ini berdampingan dengan menara setinggi 150m yang dilengkapi dengan restoran pada ketinggian 120 m yang dapat dicapai dengan lift dalam jangka 35 detik, yah cling…sudah sampai di atas. Menikmati santap di lantai atas sambil menikmati pandang ke arah luar pastinya indah dan makin terasa spektrakuler karena restoran ini berputar sangat pelan pada sumbu tegaknya sehingga kita dimanjakan menikmati seluruh bidang pandang sambil ber santap.
Dengan konsep yang tepat dan bersahabat dengan alam, tempat pembakaran sampah dan wisatapun dapat dipadukan tanpa membuat risi bahkan mengundang decak kagum pengunjung restoran. Contoh lain persahabatan dengan alam bisa dinikmati di blog sebelah, berguru pada alam.
wah aku pernah pergi ke tempat pengolahan sampah di sini tapi tidak ada restorannya 😀
___
Utamanya dalam hal pengelolaan sampah, acung jempol buat negara Jepang…pilah dan kumpul si aras rumah tangga sudah otomatis dilakukan. Salam
Betapa kita tertinggal jauh ya, Mbakyuu…padahal kan sampah kita jauh lebih banyak 😦
___
Dengan kerja keras, kerja sama dan komitmen tinggi, kita juga bisa koq Jeng, saatnya mulai….
Seharusnya di Indonesia juga bisa begitu.. Enggak usah jauh-jauh bikin tempat wisata atau restaurant di sekitar pembuangan sampah. Cukup kelola saja sampah itu dengan baik dan benar. Ah jadi bayangin bagaimana indahnya negeri kita tanpa ceceran sampah
_____
Persis Mas, saya juga yakin kita bisa, tentunya dengan kerja keras, kerja sama dan komitmen. Berbasis kelola di rumah tangga, kumpulkan seraya dipilah, lanjut kelompok pengomposan dan pool penggunaan ulang. Semoga cinta bersih tanda cinta bumi mewujud. Salam
Kalo di Indonesia bisa menerapkan ini..tentu tambah keren negara kita Mbak..penasaran juga dengan cerita Mama Hilsya nih..
___
Sami jeng, menunggu cerita lengkap dari oleh-oleh mama Hilsya. Salam hangat
Bu Prih, ada bu Prih kah di foto di atas itu?
Aku juga ngebayanginnya tempat pembakaran sampah yang penuh asap, gerah, dan bau…ternyata yaaa…pemandangannya malah bagus sekali
___
Hehe foto menunjukkan pemandangan dari dinding kaca ke arah luar seirama dengan putaran poros menara Jeng….
Dengan pengelolaan terpadu berharap mendukung kelestarian bumi. Salam