Pesona Sumur Gumuling
Kami 10 emak-emak yang tergabung dalam dasawisma Anggrek menikmati Situs Cagar Budaya Pesanggrahan Taman Sari alias water castle di Yogyakarta dan salah satu bagian yang menarik adalah Sumur Gumuling. Pandangan dari bentang alam, nampak bangunan beratap panjang, disusul barisan tajug dan bangunan cukup besar yang terhimpit di tengah kawasan pemukiman yang padat.
Pintu di bangunan beratap panjang sebagai penanda pintu masuk merangkap pintu keluar dari kompleks bangunan di bawah tanah. Berada di perut bumi, pengunjung akan melalui lorong beratap masip dengan bantuan lentera di dinding hingga ke bagian tengah bangunan besar.
Bangunan yang lazim disebut sumur gumuling dan beberapa menyebutnya sebagai masjid pendhem karena posisinya yang terpendam di bawah permukaan tanah. Bangunan berbentuk melingkar atau cincin yang terdiri dari dua lantai dengan bagian tengah berupa ruang terbuka. Pada ruang terbuka inilah terdapat sumur yang kala dulu dipergunakan sebagai tempat berwudhu, sumur yang berpayungkan kubah atap datar dengan penyangga empat anak tangga dan dari pelataran atap kubah terdapat anak tangga ke lima (satu satunya jalan) menuju bangunan lantai atas. Kelima anak tangga sebagai perlambang lima rukun Islam dengan anak tangga ke 5 menunjuk pada arah kiblat. Di lantai atas terdapat 4 jendela pewakil arah mata angin ke bagian tengah dan dari jendela Timurlah bentukan bangunan tengah ini nampak utuh sehingga selalu padat pengunjung yang hendak mengambil foto sumur beratap 5 anak tangga ini. Menurut penjelasan pemandu, saat sembahyang berjamaah, umat pria berada di lantai atas dan umat wanita di lantai bawah dengan posisi pemimpin di bagian ceruk dinding.

Masjid Pendhem: sumur gumuling (tanda bintang) dan kubah lima anak tangga (tangga teratas menuju arah kiblat)
Menikmati bagian situs cagar budaya selalu menghadirkan decak kagum betapa tingginya peradaban bangsa kita, membangun ruang-ruang bawah tanah di saat teknologi alat bantu belum semaju saat ini. Belum lagi arsitektura bangunan yang selalu sarat filosofi. Bagian generasi kini adalah melanjutkannya sesuai dengan derap kemajuan bangsa seraya memelihara keluhuran budaya bangsa sendiri. Selamat menyambut ibadah puasa di bulan Ramadhan ini. Salam
Saya pernah membaca tentang sumur ini di blognya Pak Indra a.k.a ejawantah.
Saat itu saya penasaran sekali dan setelah membaca tulisan ini, eh lha koq tambah penasaran.
Ingin langsung ke Sumur Gumuling ini. Melihat dalamnya sumur dan masjidnya. Padahal ya sakjane aku sering ke Jogja lho, Bu. Tapi, saya baru tahu ada objek sumur baru2 ini. 🙂
___
Bacaan di blog sahabat jadi inspirasi jalan-jalan ya Idah, begitupun Banjarnegara melalui postingan Idah makin memikat.
Yigyakarta tak pernak kering sumber wisata menarik ya, dari alam maupun seni budayanya.
Salam
Mbak Prih, baru tau lo kalo ada cagar budaya bernama Sumur Gumuling ini…keren ternyata ya, masuk ke perut bumi itu, pasti pengalaman yang mendebarkan…
😀
___
Seperti Antareja yang ambles ke perut bumi nih Jeng Irma. Kompleks lama keraton Yogyakarta Jeng. Salam
Dinding Masjidnya malah mirip Bubur Candhil Bu…
(Maaf kalau komentar saya tidak mengikuti kaidah seperti komentar lainnya Bu) 😀
_____
Justru komen yang ngangeni Pak Mars menambah akrab dan perluasan cara pandang yang anti biasa …
semakin dilihat makin mirip bubur candhil, lumer ketan gula merah… hehe
Yang putih2 itu jan persis “santen”
____
Leres pak, gurihnya santan terasa legit…
sudah sampai Taman Sari tapi tak jadi ke masjid ini karena pas turun hujan lebat…
alhamdulillah sudah dibagikan oleh mbakyuku, terima kasih ya mbak
___
Aura kehadiran mBak Monda di Taman Sari masih terasa loh, sama-sama mBak Mondalah yang menginspirasi tambah senang dengan situs cagar budaya. Salam
Objek ini tidak ada habisnya bila terus digali dari setiap sudut pandang. Memang selalu memberikan kesan yang menarik untuk selalu di simak dan dikunjungi.
Salam wisata
__
Woo dijenguk pakar wisata… betul Pak Indra tidak ada habisnya karena setiap pengunjung memiliki sudut pandang yang berbeda merespon penjelasan pemandu wisata yang sama.
Salam wisata Pak….
Pengen kesana,kayaknya menarik..
__
Sajian budaya dan sejarah tentang keraton lama….
kenapa ya saya agak penakut masuk-masuk kelorong dan bangunan tua. Waktu ke Lawang Sewu saja hanya mau diluarnya gak mau masuk kedalam
___
Tidak masalah Teh Lid, kan setiap kita memiliki ketertarikan dan rasa takut terhadap hal berbeda. kalau tidak berombongan ramai sy juga belum tentu berani hehe. Salam
Terakhir kesana sudah lebih dari lima belas tahun lalu. Kelihatannya sekarang sudah mengalami renovasi ya Bu.
___
Betul Pak… saya bandingkan dengan foto lama kelihatan perbedaannya, lumut tebal yang menipis maupun bata terkelupas yang kini dipermak…
taman sariiii, saya pernah ke sana sekali. Tappiii..semua dokumentasi skrg udah ilang deh ke bawa lappi yg pindah tangan. hiks;(
___
Kebayang rasa kehilangan dokumentasi datanya nih Jeng Ririe, yook datang lagi menyusur tempat kenangan. Salam
mesjid di dalam perut bumi, satulagi keunikan negeri ini yang aku barutau, dan tentu memancing tanya, kenapa para leluhur dulu kepikiran bikin bangunan spt itu. #jawabannya pasti akan panjang ya bu..
salam dari gerimis bukik.. 😀
____
Mendaftar tanya pula di belakang Uni …..
Tanpa toa pun lantunan doa bergema dan menyatu lalu membubung lewat ruang terbuka di tengah, merinding syahdunya….
Uho Bukik kota bukit kaya gerimis ya Uni.
Salam hangat