Budaya dan spiritual berpadu di bumi Puh Sarang
Vandana Shiva dikutip oleh Sonny Keraf (2002) dalam buku bertajuk Etika Lingkungan mengatakan: “Tanah bukan sekedar rahim bagi reproduksi kehidupan biologis, melainkan juga reproduksi kehidupan budaya dan spiritual”. Fenomena ini terwujud dalam pembangunan gereja Katolik dengan arsitektura unik di Puh Sarang Kediri. Gereja yang didirikan oleh Ir. Henricus Maclaine Pont pada tahun 1936 atas permintaan pastor paroki Kediri pada waktu itu, Pastor H. Wolters, CM, ini mempergunakan material setempat dengan ciri khas batu membulat. Arsitektura global maupun ruangan ibadah sangat kental diwarnai oleh suasana Majapahit, mengingat arsiteknya juga yang membangun museum Trowulan.
Menikmati tayangan televisi, ibadah dengan suasana lesehan diiringi gendhing Jawa dengan bagian altar berornamenkan candi membulatkan tekad untuk mengunjunginya meski hanya mendapat suasana bangunan fisiknya saja. Bentuk kubah membulat dengan puncak kanopi menatap keempat penjuru mata angin mengingatkan pada perempatan jalan maupun tembang macapat, serapan budaya Jawa. Memasuki pelataran yang bernaungkan pohon beringin rindang, melewati gerbang sempit dengan ornamen batu membulat diingatkan menuju haribaanNya tidak ada fasilitas jalan tol mulus dan memerlukan kebulatan hati (gemblenging ati).
Mencoba menikmati bagian altar melalui jeruji di bagian dalam pendapa asri, latar belakang altar yang menghadirkan kejayaan Majapahit. Konsep bangunan maupun penataan luar secara makro mempertimbangkan aspek ekologis (curah hujan, kelerengan di kaki G. Wilis) sehingga aspek konservasi lahanpun tergarap dengan pas yang disajikan di blog sebelah. Yah budaya dan spiritual berpadu di bumi Puh Sarang.
Tulisan terkait
• Konservasi Tanah di GML Puh Sarang Kediri
Kagum dengan keindahan arsitekturnya, mbak Prih…kagum juga dengan pemeliharaannya yang sungguh-sungguh sehingga gereja ini tetap terpelihara baik 🙂
___
Sepakat dengan Jeng Irma, kuatnya perencanaan, disiplin dalam pembangunan dan komitmen dalam pemeliharaan. Salam
pernah melihat foto2 arsitektur gereja ini di sebuah majalah… kagum dengan bentuknya yg unik & menyatu dengan alam 🙂
____
Bangunan berwawaskan ekologis dan budaya ….
ya mbak, pernah nonton juga di TV
kurasa memang begitu seharusnya , bangunan harus sesuai dengan iklim kita, jadi nggak asal niru2 model dari luar…
kearifan lokal kan karena ada pengalaman nenek moyang kita juga
adem dong mbak ibadah di gereja ini ya
____
Kearifan lokal yang berakar dari budaya dan alam sekitar, terima kasih mbak tambahan pemaknaannya. salam
Benar-benar merupakan suatu kearifan, menjadikan sebuah perpaduan budaya dan spiritual yang mempunyai makna sangat dalam…. 🙂
____
Menyatunya hati dan alam dalam bersembah Uda, Salam ….
Peninggalan leluhur semua luar biasa…
___
Terima kasih Pak, mencerna makna peninggalan leluhur ….
batunya berbentuk seperti gua gitu ya bun
___
Batunya disusun layaknya candi Teh. Salam
cuma bisa berkata WOW ….. keren banget mbak bangunannya 🙂
___
WOW terima kasih Jeng Ely, mencoba mencari makna bangunan
Emang unik banget ya Bu… Di bagian atasnya kayak ada sungut-nya, itu tiga atau empat ya sungutnya?
___
Empat arah Jeng, hehe yang bersungut2 adalah saat menggerutu. salam
bentuk gerejanya berakulturasi dengan budaya lokal …
keren …
___
Betul, bahkan juga model ibadahnya dengan lesehan plus gendhing. Selamat berhari Minggu. Salam
Ping-balik: Konservasi Tanah di GML Puh Sarang Kediri | Berguru pada Alam