Tag

, ,

Transformasi Anak Singkong

anak singkong

anak singkong

Pernyataan anak singkong sering kali berkonotasi dengan ‘keterbatasan’ baik dalam hal daya beli, budaya maupun penguasaan teknologi. Kini anak singkongpun bertransformasi.

Singkong dalam Bingkai Budaya
Membayangkan singkong mengait pada gambaran lahan tandus, suasana kering, rumah dan taraf hidup sederhana, anak-anak bermain dengan perawakan dibawah berat standar kesehatan. Yah pendeknya singkong dilekatkan pada simbul kemiskinan.

Berbagai pendekatan budaya mencoba menggeser paradigma tersebut, Koes Plus melalui syair … orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman …. mengajak kita memaknai bahwa singkong merupakan bagian dari berkat. Dengan teknologi sederhana asal dikelola dengan apik mampu mencukupi kebutuhan pangan. Arie Wibowo melalui lagu Singkong dan keju menyeru meski …. aku hanya anak singkong …. mampu bersanding dengan keju simbul dunia luar sekaligus aku punya harga diri tinggi.

Ada lagi juragan singkong bernama Sentika dari Alaswangkal yang mampu mengundang Srintil sang primadona dari Dukuh Paruk, Dawuan untuk tayuban di hari Kemis Manis dan sekaligus menjadi gowok bagi Waras anak lelakinya (Lintang Kemukus Dini Hari (Bagian Keempat), buku ke 2 Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Budayawan dan Sastrawan tenar Ahmad Tohari, Gramedia, 1985). Melalui singkong Sentika dimampukan secara ekonomi memiliki rumah magrong-magrong dan harta melimpah, menjadi direktur dengan sebutan majikan yang menaungi karyawan para batur dan pemikul serta mengangkat harkatnya secara sosial sehingga bisa duduk sederajad bahkan mengatur Lurah.

Transformasi Singkong
Singkong yang berasal dari Brasil dan memiliki nama latin Manihot utilissima (Pohl.), Manihot esculenta (Crantz sin) terlibat dalam perubahan jaman secara dinamis. Indonesia merupakan produsen singkong peringkat lima (5) di dunia data FAO 2009, yang berarti memiliki kontribusi ekonomi nasional yang bermakna.

Perubahan paradigma pangan. Mengantisipasi perubahan iklim global, perhatian dunia melalui FAO atas penyediaan pangan merujuk pada ketangguhan singkong dan kesiapannya menjadi salah satu pilarnya. Singkong tidak lagi sekedar cemilan ngrowot aras lokal namun siap menjadi bagian gala dinner di kancah internasional.
Teknologi pun disiapkan dengan menghargai tepung gaplek yang bertransformasi menjadi mocaf (modified cassava flour) yang di pasaran sering disebut mocal (bagus juga sesuatu yang tadinya mokal ternyata menjadi bisa terwujud). Dengan sentuhan kuliner berbagai sajian ala bakery berbahan dasar singkongpun siap menggoyang lidah, keartistikan tampilan dipadu cita rasa, hmm senyum anak singkongpun merekah. Menyadari ketergantungan masyarakat Indonesia akan beras (belum merasa makan bila belum menyantap nasi) dikembangkan juga teknologi rasi (beras singkong).
Transformasi di bagian hilir ini dibarengi pula transformasi di bagian hulu, bila umumnya pebisnis singkong (termasuk petani) menanam singkong selama 9–12 bulan untuk varietas dalam, Puslitbangtan pun melepas tanaman ketela pohon siap dipanen pada umur 6–8 bulan untuk varietas Genjah. Penghematan waktu yang cukup berarti secara makro dalam pengurangan biaya produksi yang diharapkan meningkatkan gairah pelaku bisnisnya.

Mobil naik singkong. Bila umumnya singkong diangkut oleh truk, kini sebaliknya mobil diangkut singkong. Lho? Dengan semakin meningkatnya kebutuhan energi, energi yang berasal dari bahan fosil (minyak, batubara) pun terancam tidak mampu mencukupinya. Perhatian dunia bergeser kepada penyediaan energi alternatif salah satunya dengan energi terbarukan yaitu bioenergi.
Amerika Serikat mengalokasikan kedelainya sebagai bahan baku bioenergi, Kuba mengagihkan sebagian tebunya menjadi bioetanol. Singkong (bersama sagu) dari Indonesiapun menjadi incaran dunia, kandungan pati yang tinggi dalam singkong diubah menjadi gula sederhana yang kemudian difermentasikan menjadi etanol dengan bantuan mikroba menjadikan singkong sebagai sumber bioetanol yang potensial.
Prosesnya meliputi gelatinasi, sakharifikasi yang dilanjutkan dengan fermentasi dengan bantuan yeast (ragi) Saccharomyzes ceraviseze. Dengan pembandingan standar tetes yang memiliki perbandingan bahan baku/bioetanol yang dihasilkan sebesar 4:1 (dari 1000 kg bahan baku dihasilkan 250 l bioetanol), singkong memiliki nilai 6.5:1 dan lebih tinggi dibanding sagu yang bernilai 12:1.

Tarik menarik pangan dan energi. Melihat potensinya tak heran bila singkong akan menjadi primadona perebutan antara pemenuhan pangan dan energi. Sangat diperlukan pertimbangan bijak dan penetapan skala prioritas pemenuhan kebutuhan pangan. Sebagai contoh Cina, Negara dengan jumlah penduduk yang tinggi, memprioritaskan penggunaan tanaman pangan jagung dan kedelai sebagai sumber pangan. Di lain pihak potensial dikembangkan sumber energi dari tanaman non pangan sehingga benturan antar kepentingan dapat diminimalkan.

Bangganya jadi Anak Singkong
Nah mencermati dinamika transformasi singkong ini, tentu terjadi transformasi perilaku, seiring peningkatan kualitas produk, duh bangganya jadi anak singkong. Semoga

Note: tak pelak biografi pengusaha papan ataspun bertajuk Chairul Tanjung Si Anak Singkong.