Pesona Salatiga – Sketsa Kota Lama
Salatiga-sketsa kota lama adalah judul buku karya Eddy Supangkat terbitan Griya Media tahun 2007. Sumbangan yang luar biasa bagi dokumentasi sejarah kota Salatiga.
Sketsa 1 – Prasasti Kota Salatiga. Kelahiran kota Salatiga ditandai dengan prasasti Hampra (Plumpungan) yang memuat waktu hari Jumat, 24 Juli 750 dan kemudian ditetapkan sebagai hari jadi kota Salatiga. Melalui prasasti tersebut dinyatakan bahwa daerah Hampra (kemudian menjadi Salatiga) secara resmi sebagai daerah perdikan (swatantra). Prestasi luar biasa, dengan status tanah perdikan menjadi daerah yang bebas pajak/upeti kepada Raja Bhanu yang membawahi wilayah sekitar Salatiga, Boyolali, Ambarawa dan Ungaran. Penetapan status tersebut diduga karena masyarakat Hampra dianggap berjasa dalam pemeliharaan tempat ibadah dan perkembangan agama Hindu. Lokasi prasasti tersebut tidak terlalu jauh dari pusat kota sekarang, hanya sekitar 2km ke arah Bringin.
Sketsa 2 – Legenda Kota Salatiga. Kota Salatiga juga memiliki legenda. Dari berbagai legenda yang paling terkenal adalah kisah Ki Ageng Pandanarang yang mendapat pencerahan dari Sunan Kalijaga. Sebagai tanda penyesalannya beliau meninggalkan gemerlapnya kehidupan duniawi, mengikuti langkah Sunan Kalijaga. Namun sayang sang istri yang masih sangat menyenangi gemerlapnya emas permata tidak mengikuti nasehatnya untuk meninggalkan rajabrana dan kemudian dihadang oleh 2 perampok. Dalam versi ini tersirat kolektivitas kesalahan 3 orang sehingga terdengar seperti ‘salah tiga’ ada juga yang menyatakan pertemuan tersebut ditandai dengan sela (batu besar) tiga buah, sehingga menjadi ‘selatiga’. Lokasinya ditengarai di Jl Diponegoro 55. Selatiga juga menjadi motif khas batik Salatiga.
Sketsa 3 – Gemeente (Kotapraja) terkecil di Indonesia. Pada jaman pemerintahan Hindia Belanda, kondisi alam Salatiga yang sejuk menjadi kota pilihan bagi orang kulit putih. Kota semakin berkembang dan pada tanggal 25 Juni 1917 dikeluarkan Staatsblad No 266 yang menetapkan Salatiga sebagai daerah otonom ‘de gemeente Salatiga‘ yang dipimpin oleh seorang walikota, menjadikan Salatiga sebagai gemeente terkecil di Indonesia. Tata kota awal Salatiga diwarnai oleh gaya Eropa, juga banyak peninggalan gedung dengan arsitektura Eropa yang sekarang masih terpelihara dan menjadi benda cagar budaya (BCB) yang sedang dibenahi.
Sebagai pusat kota saat itu adalah lokasi bundaran tugu sekarang dengan persimpangan jalan ala Eropa. Jalan ke arah Semarang dinamai Toentangscheweg (sekarang Jl Diponegoro) dengan penciri daerah perkantoran, jalan ke arah Solo dinamai Soloscheweg (sekarang Jl Jend Sudirman) dengan penciri daerah pertokoan. Jalan ke arah Bringin disebut Bringinscheweg (sekarang Jl Patimura) mengarah ke perkebunan karet, serta jalan menuju Kalitaman disebut Wilhelminalaan (sekarang Jl Pemuda) dengan penciri daerah hiburan, saat itu untuk hotel, gedung kesenian, wisata air maupun taman.
Kota Salatiga telah berkembang pesat hingga saat ini, beberapa sendi dari perencanaan kota (sketsa kota lama) yang tetap layak untuk dipertahankan, sehingga ada kesinambungan sejarah antar waktu. Bangga dengan sebutan Indonesia mini, menggambarkan kemajemukan Salatiga dalam hal etnik, budaya maupun kepercayaan. Berikut adalah foto beberapa bangunan peninggalan Pemerintahan Belanda dan bangunan pribadi yang bergaya Eropa
Gedung Papak, disebut juga gedung kotamadya dan sekarang menjadi kantor walikota Salatiga. Bentuk bangunan masih tetap dipertahankan seperti aslinya saat menjadi milik tuan Baron Van Hakeren Van De Sloot. Lokasi di dekat Lapangan Pancasila sekarang, posisi yang sangat strategis sebagi pusat pemerintahan kota. Kampus STAIN, Kantor Polres berada di seputaran lokasi tersebut.
Masih banyak lagi bangunan kuno dan bersejarah bagi keberadaan kota Salatiga saat ini. Pelestarian BCB sebagai bagian upaya estafet nilai-nilai perjuangan bangsa sangatlah berarti dalam pemeliharaan kebanggan akan kota dan perekat persatuan komunitas.
Tulisan ini diikutkan pada Giveaway Pertama di Kisahku bersama Kakakin
Ilham said:
pesona salatiga tdk diragukan lagi dech
rynari said:
sepakat apalagi bagi penghuninya
Ping-balik: Menerawang di Gedung Pakuwon Salatiga | RyNaRi
Franky said:
bagaimana pemandian kali taman,Denpom IV-3 dan rumah deni di dpn denpom, jd ingin kesana lagi. dulu sy kuliah di UKSW angkatan ’91
____
Halo Bung Franky, Salatiga menanti kunjungan alumni untuk nostalgia. Pemandian Kali Taman masih tetap berfungsi sejak jaman noni Belanda hingga kini. Salam
Franky said:
tempat yang nyaman dan sejuk, bagaimana nasib pemandian kalitaman(disana afa teman sy waktu kuliah di UKSW, Ririn) dan teman2 yg bertugas di SubDenPom IV/3 yaaa, apa mereka msh dinas disana.
___
Pemandian Kalitaman masih tetap berfungsi baik. Mari sila berkunjung balik ke Salatiga….
Terima kasih sudah singgah